Kemudian

963 61 0
                                    

Sudah lama rasanya setelah Shima kembali dari Natuna. Ia bahkan telah wisuda dan menyandang gelar S.Ked miliknya. Namun masih banyak yang harus ia lakukan untuk menjadi seorang dokter. Jalannya masih panjang. Ia telah menunaikan sebagian masa bakti koas nya. Rasanya telah lama ia lupa akan Natuna, Mosha atau Maruli.

Ia menghela napasnya. Jam menunjuk pukul 12 malam. Hari ini jatahnya untuk berjaga malam. Sejak dari pagi ia sama sekali belum pulang. Itulah resikonya menjadi seorang koas. Tapi apapun itu, harus tetap di jalaninya demi sebuah pengabdian yang tiada terkira.

"Apa kabar ya?", Gumamnya.

Hanya ia sendiri di ruang itu. Teman-temannya yang lain tengah sibuk dengan pasien yang harus mereka monitor setiap saat. Tugasnya memonitori pasiennya telah selesai setengah jam lalu, itu sebabnya ia bisa beristirahat sejenak di ruang koas. Di tegaknya secangkir kopi yang masih hangat di mejanya. Baru saja ia membelinya beberapa menit lalu di kantin rumah sakit.

Asapnya masih mengepul. Menyemarakkan aroma kopi yang begitu harum. Kepalanya sedikit pusing. Tubuhnya juga amat lelah. Keadaan KKN di Natuna waktu berbulan-bulan lalu tidak ada bandingannya dengan kegiatannya sekarang. Tiba-tiba pikirannya menggelayut. Ia kembali pada pulau nan indah disana.

Apa kabar semua yang ada disana, telah lama ia tinggalkan. Mosha? Maruli? Apakah mereka telah kembali dari tugasnya. Ia kembali menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia lupa bahwa Mosha dan Maruli adalah seorang tentara. Bisa saja itu tugas yang berat. Menyita waktu mereka berbulan-bulan.

"Ma"

Shima menatap pemilik suara itu. Ia sudah amat mengenalnya. Sangga masuk ke ruangan. Ia mendudukan dirinya di depan Shima. Menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Shima tahu betapa lelahnya pria itu. Ia pun merasakan hal yang sama.

"Gimana? Udah beres?"

"Iya baru selesai. Gila cape banget", umpatnya.

Shima terkekeh. Rasanya lucu sekali mengingat ia dan Sangga di tempatkan pada rumah sakit yang sama. Ia sangat bersyukur atas hal itu. Ia tak tahu bagaimana jika tak ada pria itu. Ia pasti akan kesulitan dalam menyesuaikan keadaan, apalagi mengingat dirinya memang seorang yang pendiam.

"Ma, kalo kamu mau tidur. Tidur aja biar kalo ada apa-apa aku yang jaga"

"Nggak ah, nggak ngantuk juga"

"Tapi kamu keliatan pucet banget ma"

"Ngga. Harusnya aku yang bilang gitu ke kamu. Kamu jauh lebih lelah dari aku. Nggak usah banyak gerak juga you're not Superman!"

Sangga terkekeh. Ia masih menatap gadis itu melalui dua mata tajam miliknya. Senyumnya begitu mengembang. Memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.

"Di bilangin malah ketawa gitu!"

"Makasih ma"

"Buat?"

"Ya udah merhatiin aku"

Shima meletakan cup kopinya. Tangannya menggenggam tangan Sangga. Terasa begitu hangat. Namun lain yang dirasa Sangga. Tangan Shima begitu dingin. Ia menatap wajah gadis itu sedikit cemas.

"Kita kan sahabat ngga. Kamu udah kaya kakakku sendiri"

"Ma. Kamu serius nggak papa?"

"Engga"

"Yakin?"

"Iya"

Gadis itu tersenyum. Sangga menatapnya dengan cemas. Di genggamnya erat kedua tangan yang terasa dingin itu. Ia tahu Shima tidak baik-baik saja. Hanya saja gadis itu selalu mengelak. Ia tahu betul Shima. Keringatnya mulai turun membasahi dahinya.

"Ma!"

Panggilan Sangga rasanya lalu. Pandangannya kabur entah mengapa. Sayup-sayup ia tak mendengar apapun lagi kecuali Sangga yang kini memanggil-manggil namanya. Pandangannya jatuh kabur begitu saja. Tubuhnya benar-benar lelah. Tak ada tenaga sama sekali pada jasad itu.

                          ***
Hawa dingin merasuk dalam tulang. Rasanya ngilu sekali. Mosha menatap jam di dinding pos. Sekitar pukul setengah tiga pagi waktu Indonesia bagian Timur. Sepagi ini ia telah terjaga di pos nya. Yang lain rupanya masih terlelap. Sebagian berjaga-jaga di PLB dan sekitarnya.

Sudah jadi tugas tentara untuk terus terjaga, menjaga kemana dan kedaulatan negara tercinta. Rasanya sudah lama sekali ia menginjakkan kakinya di Montaain, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Semakin jauh dari keluarganya tercinta. Tapi ia tak pernah menyesal. Memang sudah resikonya seorang tentara harus siap mengabdi pada negrinya kapan saja dimana saja.

"Kau belum tidur?"

Suara itu membuatnya terbangun dari lamunannya. Maruli berdiri di sampingnya sekarang. Menuangkan segelas kopi hitam pada gelas yang di genggamnya. Ia menggeleng. Sama sekali tak ada rasa lelah dalam dirinya.

"Kau harus jaga siang, kenapa tak tidur?", Tanyanya.

"Kau juga. Kenapa belum tidur?", Mosha balik bertanya.

"Kau kan tau, aku harus menyelesaikan game online ku dulu baru tidur. Lagi pula aku sudah tidur jam 7 malam kemarin"

Mosha terkekeh. Ia tahu benar pria itu. Maruli tidak akan pernah bisa tertidur saat belum memenangkan rank dalam permainan online yang ia unduh melalui internet. Ia pun paham itu. Tidak ada hiburan bagi para tentara. Tidak ada keluarga ataupun kekasih. Siang malam hanya berjaga NKRI. Maruli meneguk kopi dalam gelasnya.

"Kau rindu tidak?", Katanya tiba-tiba.

Mosha masih terdiam. Tak berkomentar. Ia tahu sahabatnya itu akan melanjutkan kata-katanya. Maruli kembali meneguk kopinya. Kemudian menghela napas panjang. Rasanya sunyi sekali. Hanya terdengar bunyi jangkrik yang berkrik-krik.

"Rindu Natuna pada jam-jam saat ini. Biasanya aku telah bersiap untuk lari pagi di pohon Akasia"

"Kau rindu akasia atau rindu Shima?", Tanya Mosha.

Wajahnya tampak serius kali ini. Ia menatap Maruli yang mantap kosong ke arah di depannya. Entah apa yang pria itu tatap.

"Jika boleh aku berjujur, maka aku rindu keduanya. Tapi tenanglah kawan. Aku tau dia akan memilihmu. Kau lebih baik dari aku, tenang saja"

Maruli menepuk bahu Mosha. Ia tersenyum sekejap. Hingga akhirnya meninggalkan pria berkulit putih bersih disana. Dalam hatinya sedikit sesak mengatakan hal itu. Namun itulah tekadnya. Ia sudah bulat. Untuk apa memaksa orang yang tidak mencintai kita, jika akan menyiksa hatinya, berdusta pula pada perasaan sendiri.

Mosha kembali terdiam. Larut dalam angannya. Terkadang ia berpikir sesuatu tentang dirinya. Bukankah dirinya adalah orang yang egois, yang memaksa cinta tanpa tahu yang di cinta membalas rasa yang sama. Tapi nuraninya begitu yakin. Entah mengapa intuisinya selalu berkata bahwa Shima akan menantinya, mengatakan bahwa ia cinta akan Mosha.

Dalam dirinya pun sedikit takut untuk memulai. Ia tak sehebat Maruli yang dengan gamblangnya mengatakan cinta pada gadis itu. Ia mungkin pernah mengatakan cinta meskipun hal itu tersirat. Rasa terberat yang pernah ada ialah ketika mengucapkan tiga kata yaitu aku cinta kamu. Sederhana namun nyatanya sangat sulit di katakan.

Manusia memang selalu di penuhi rasa gengsi yang tinggi. Membuat mereka memiliki rasa ego yang tinggi karena merasa dirinya sendiri paling bermakna. Padahal, kita tidak akan pernah bisa hidup seorang diri. Pikirannya makin liar. Menelusup. Membabi buta.

"Akan ku katakan semuanya, suatu hari nanti. Shima"

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang