Shima

2.3K 102 0
                                    

Pagi rupanya telah menyapa. Surya telah melambai pada dunia. Cahyanya masuk kedalam relung-relung jendela. Membias wajah ayu seorang gadis yang tengah terduduk. Rambutnya terurai begitu saja. Hitam, panjang. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia menatap almamater kampus tercinta.

"Sudah saatnya", gumamnya.

Bendera merah putih menghiasi meja belajarnya. Sudah seminggu rasanya ia mengabdikan apa yang ia punya kepada masyarakat. Kepada bangsanya. Sebagai mahasiswi tingkat tujuh, ia harus rela pergi jauh untuk melakukan KKN atau kuliah kerja nyata.

"Shima..."

Gadis itu menatap sumber suara. Di lihatnya seorang pria berkulit hitam berdiri di ambang pintunya. Pria berperawakan kurus tinggi itu tampak tersenyum. Begitu rupawan. I Gusti Sangga Langit, pria berdarah campuran Bali dan Lembata itu tampak begitu mengagumkan. Wajahnya yang rupawan dengan alis tebal bak ulat bulu.

"Iya aku udah siap kok"

Shima beranjak dari duduknya. Di raihnya almamater kebanggaannya. Di raihnya pula tas di meja belajarnya. Ia berjalan mendekati pria yang masih berdiri disana.

"Yang lain mana?", Tanyanya.

"Udah pada nunggu di luar. Tinggal kita doang"

Ia terdiam. Kemudian berjalan melenggang melewati pria berkulit hitam itu. Sangga menyejajarkan langkahnya dengan langkah gadis itu. Shima masih sama seperti biasanya. Selalu diam, tak banyak bicara.

"Udah siap?", Katanya setelah sampai di teras rumah.

Beberapa mahasiswa dan mahasiswi sudah berkerumun. Rapi dengan jas almamater mereka. Ada yang sedang bergurau, ada pula yang sedang mempersiapkan kelengkapan.

"Udah", jawab mereka serempak.

"Ya udah kita berangkat", kata gadis itu lagi.

Ia mulai melenggang. Mengayunkan kakinya berjalan ke posko kesehatan. Memang cukup jauh dari rumah yang mereka sewa. Mungkin 2 atau 3 km. Tapi cukup puas bagi mereka. Bagaimana tidak, mereka sangat dihargai disana. Dipuja. Disanjung. Dikata sebagai orang pandai. Orang berpendidikan.

Ramah tamah orang-orang mulai mengiringi perjalanan mereka. Mulai dari tersenyum ringan atau bahkan menyapa. Sangat menyenangkan. Tidak menyesal sama sekali dalam hati mereka harus pergi jauh hingga sampai di pulau surga ini. Kabupaten Natuna, siapa yang tak tau pulau surga yang satu ini.

Sumber ladang gas besar, tempat pariwisata bahari, penghasil kekayaan laut berlimpah dan masih banyak lagi. Sungguh miris jika generasi muda saat ini lebih membanggakan negri orang, menginjak-injak negri sendiri. Mata mereka masih tertutup. Belum terbuka lebar. Indonesia indah, tidak hanya itu, tapi kaya. Bahkan lebih.

Shima terhenti. Membuat rekan-rekannya yang lain juga berhenti melangkah. Gadis itu menatap sebuah halaman sekolah dasar. Upacara bendera rupanya sedang berlangsung. Ia menghormat. Matanya tak berkedip. Ia terus menatap sang saka merah putih. Berkibar begitu gagah di langit nan biru. Rasa bangganya membuncah. Ia tersenyum getir. Betapa ia belum memberi apapun pada negaranya. Miris.

Sangga menatap gadis itu, kemudian beralih menatap apa yang Shima tatap. Tubuh tegapnya berdiri di samping gadis itu. Ikut menghormat. Di ikuti kawan-kawannya yang lain. Mereka terus begitu. Hingga sang saka merah putih telah mencapai puncaknya. Shima meneruskan perjalanannya. Ia tak banyak berkomentar. Hanya terdiam dalam pikirannya sendiri.
____________________________________

Posko kesehatan rupanya telah sesak. Padat dikunjungi orang-orang. Shima dan yang lainnya bergegas bersiap-siap. Pertempuran akan segera dimulai.

"Ngga, kamu tolong siapin air cuci tangan yah. Biar aku sama yang lain langsung tangani orang-orang"

"Iya", jawab pria itu singkat.

Sangga segera berlari menuju sebuah sumur di belakang posko. Tak ada keran cuci. Itu sebabnya para mahasiswa itu harus bergantian mengambil air cuci tangan di sumur belakang posko.

"Selamat pagi ibu, apa yang di rasakan pagi ini?", Sapa gadis itu.

Ia tersenyum. Begitu manis. Wajah ayunya seakan berseri. Matanya yang cantik mengerjap. Dengan cekatan ia memainkan stetoskop miliknya. Memeriksa orang-orang itu. Memberinya perawatan terbaik.

Gadis itu mengusap peluh di dahinya. Rasanya lelah tapi menyenangkan dapat membantu orang lain. Orang-orang mulai berpergian. Puas dengan kerja para mahasiswa itu. Mereka tak perlu lagi jauh-jauh menuju rumah sakit, berobat dengan mahal. Yang padahal, sudah seharusnya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat paling diutamakan.

"Gimana cape ma?", Ujar Sangga.

"Ya kaya kemarin-kemarin"

"Kayanya kamu yang paling semangat deh dari kita semua"

"Iyalah, paling semangat berbuat baik nggak ada salahnya kan?"

Pria itu terkekeh. Ia tatapi gadis itu. Yang ditatap rupanya tak sadar. Ia hanya terdiam, menggoreskan pena pada selembar kertas putih. Sangga tersenyum. Ia suka menatap wajah Shima diam-diam entah mengapa. Rasanya sangat menyenangkan.

"Ngga, yang lain mana?", Katanya tanpa menatap pria itu.

"Pada main di belakang posko. Liatin tentara pada latihan"

"Emang ada markas tentara disini?"

"Iya, di belakang posko kita. Sekitar 4 m lah tapi keliatan soalnya belakang kan lapangan"

Shima terdiam. Ia masih berkutat pada tulisannya. Entah apa. Ia menutup bukunya. Beranjak dari tempat duduknya.

"Mau kemana ma?"

"Nyusul anak-anak"

Gadis itu melenggang. Berjalan menuju tempat yang akan ia tuju. Suara tawa membahana mulai memekik gendang telinganya. Rekan-rekannya tampak menikmati apa yang sedang mereka lihat. Para pria bertelanjang dada berlari memutar di lapangan luas itu. Berteriak-teriak meneriakkan merah putih.

"Oh disini kalian", katanya.

Rekan-rekannya saling diam. Saling tatap satu sama lain. Saling menyenggol lengan. Entah mengapa. Shima mengangguk-angguk menatap pria-pria bertelanjang dada disana.

"Saatnya pulang nih", katanya lagi sembari menatap arlojinya.

"Yah ma, baru jam 4 sore"

"Ya udah kalo nggak mau pulang, aku pulang sendiri. Kunci rumah ada di aku jadi kalo kalian balik melebihi jam 6 siap-siap aja"

"Iya deh iya kita pulang jam 5", kata salah satunya.

Shima mengangguk. Ia berjalan menjauhi segerombolan mahasiswa itu. Suara teriakan kembali terdengar. Memekik. Sangga menghampiri gadis itu.

"Yuk ma kita pulang"

"Aku sendiri aja. Tolong kamu jagain mereka. Aku nggak percaya kalo mereka bakal balik jam 5"

"Tapi kamu?"

"Aku nggak papa. Aku minta tolong yah"

Gadis itu pergi. Menjauh dari Sangga. Sangga masih mematung. Ia tatapi punggung kecil yang perlahan mulai menjauh. Hilang dari pandangannya.

"Shima...", Gumamnya lirih.

Hampir tak terdengar. Namun ia sadar betul apa yang ia katakan. Nama gadis itu. Entah mengapa selalu Shima. Ia pun tak mengerti. Seakan ada gravitasi yang membuatnya semakin dekat, semakin jatuh. Shima bagaikan candu untuknya.

Ia masih berdiri. Terlihat kembali gadis itu. Tubuhnya yang mungil terlihat begitu kecil. Mulai berjalan menjauh dari posko. Sendirian. Tak sampai hati ia membiarkan gadis itu sendiri. Ada rasa khawatir. Cemas, takut, apapun itu.

Shima. Sekali lagi namanya terngiang dalam otaknya. Terus menggelayut menyesakkan segala pikirannya. Hah, rasa apa itu? Apakah simpati, kagum, atau rasa cinta. Apapun itu sangat menyakitkan. Tapi juga sangat menyenangkan. Yang jelas rasanya terasa luar biasa.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang