Sumpah Dokter

883 56 0
                                    

Hari ini, adalah hari yang amat berbahagia. Terlebih untuk seorang gadis yang masih menatap dirinya pada pantulan cermin. Ia begitu cantik. Bahkan amat cantik. Balutan kebaya pich begitu indah dalam tubuhnya. Riasan di wajahnya membuatnya tampak lebih anggun. Ia tengah terduduk. Membiarkan seorang wanita meriasnya begitu saja.

Hari ini adalah pelantikan Shima sebagai seorang dokter. Ia telah lulus UKDI. Dia juga memiliki rekor koas tercepat yaitu 1,5 tahun. Hal yang paling sulit di raih seorang dokter muda. Betapa bahagianya ia. Tak henti bibir itu tersenyum. Menggambarkan alangkah bahagianya seorang gadis yang tengah menatap pantulan dirinya dalam balik kaca.

"Tunggu sebentar sayang. Mama mau ambil sesuatu di kamar Sangga", kata wanita yang sedari tadi meriasnya.

Mama Rose melenggang meninggalkan Shima. Bukan hanya hari bahagia untuknya saja. Tetapi juga untuk keluarga Sangga. Betapa bahagianya mama Rose mendengar berita bahwa Shima akan mengucap sumpah dokternya. Tak kalah bahagianya papa Nando. Bahkan ia meminta Shima untuk menginap dan dia meminta dirinya untuk menjadi wali Shima saat Shima mengucap sumpah dokternya.

Mama Rose kembali. Tangannya memegang beberapa helai selendang. Senada dengan warna kebaya yang di pakai Shima. Mama Rose menatap Shima dari balik cermin.

"Sayang..."

"Sebelum sangga pergi, ia menitipkan ini pada mama. Ia tahu bahwa ia mungkin tidak bisa menghadiri sumpah dokter mu jadi ia berpesan padamu menggunakan ini"

Mata Shima berkaca-kaca. Betapa ia terlalu gelap mata. Ia tak pernah menutup auratnya meskipun dalam agamanya telah di larang. Bahkan sangga pun tau apa hukumnya. Ia benar-benar malu saat ini. Sangat malu.

"Pakaikan mama. Pakaikan"

"Iya sayang. Jangan menangis ya. Mama akan pakaikan"

Berkibaslah selendang itu. Menutupi aurat yang selalu ia buka. Mama Rose mulai memakaikannya pada Shima. Begitu rapat. Begitu tertutup. Ia benar-benar takjub menatap gadis itu. Apakah benar dia adalah Shima. Nyatanya gadis itu terlihat makin cantik. Amat cantik. Makin berseri.

"Ya Tuhan. Kamu cantik sekali sayang. Waktu pemakaman sangga kamu juga memakai jilbab bukan? Tapi rasanya kamu lebih cantik jika lebih tertutup"

Benar kata mama Rose. Shima memang menggunakan jilbab ketika pemakaman sangga. Tapi itu hanya menutupi separuh rambutnya saja. Separuhnya belum tertutup sempurna. Tapi lain saat ini. Gadis itu benar-benar cantik. Amat cantik. Tak bisa di gambarkan lagi bagaimana kecantikannya.

"Ayo ayo kita berang...kat"

Papa Nando begitu terkejut. Mendapati siapa yang tengah berada di dalam kamar bersama istrinya. Ia tak pernah melihat Shima seperti itu. Benar-benar luar biasa.

"Mama, siapa ini? Cantik sekali. Puji Tuhan mengirimkan seorang bidadari ke rumahku", katanya.

Mama Rose tampak tersenyum. Begitu juga Shima. Pipinya mulai memerah memalu. Ia tampak tertunduk. Sejujurnya ia masih tidak biasa menggunakan jilbab yang begitu tertutup. Tapi ia harus mencoba. Usianya sudah baligh. Tidak pantas rasanya jika terus mengumbar auratnya pada orang yang bukan mahram untuknya.

"Kita berangkat?", Tanya papa Nando sekali lagi. Di buntuti anggukan dari Shima.

Maka pergilah mereka semua. Menuju sebuah auditorium yang sesak oleh orang-orang. Hari ini bukan untuk Shima saja, tetapi untuk semua dokter yang dinyatakan bisa menyandang gelar kebesaran mereka di depan nama mereka.

Shima telah sampai bersama mama Rose dan papa Nando. Begitu sesak. Mama Rose membenahi jas putih milik Shima. Ia juga membenahi selempang yang di kaitkan pada tubuh Shima. Tercetak nama Shima di sana dengan keagungan gelar di depan nama itu dr. Diayu Ratu Shima begitu bunyinya. Papa Nando dan mama Rose telah menempatkan diri mereka untuk duduk.

Acara pun di mulai. Satu persatu acara telah di bacakan. Di laksanakan dengan penuh khidmat. Kini saatnya. Acara yang paling di nanti. Dimana para dokter muda itu di sumpah diatas Alkitab masing-masing. Dengan berkata:

Demi Allah, saya bersumpah bahwa :

Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan ber­moral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerja­an saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan
Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan ke­dokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan

Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan memper­taruhkan kehormatan diri saya.

Shima mulai menitikan air matanya. Betapa bangganya dia kini telah resmi menjadi seorang dokter. Sumpahnya telah ia ucapkan. Kini saatnya ia mengabdi pada bangsa ini. Tentang apapun yang telah ia punya. Tak kalah bahagianya mama Rose yang menyaksikan itu bersama suaminya. Wanita itu menggelayut di bahu suaminya. Sesekali mengusap pipinya yang basah. Ia juga bangga dengan gadis itu. Anaknya telah benar dalam menjatuhkan cintanya. Jika putranya masih hidup, ia ingin sekali melamar Shima untuk putranya. Hatinya telah tertambat jauh pada gadis itu.

                          ***

"Selamat dokter Shima"

Shima terkekeh. Ia meraih buket bunga dari tangan Maruli. Pria itu menyempatkan hadir di acara yang amat bahagia untuknya. Meskipun sangat terlambat. Maruli datang disaat acara telah selesai. Pria itu tidak bisa melihat dirinya menyuarakan sumpah yang amat di dambakan orang-orang.

"Kak Mosha?"

"Ah Mosha tidak bisa datang. Kau tau kan? Magelang ke Jogja itu lumayan berjarak"

"Iya. Tapi makasih kakak udah datang"

"Hanya ingin melihat dokter baru", katanya.

Shima tertawa begitu renyah. Maruli memang pandai membuatnya tertawa. Gadis itu mencubit perut Maruli. Membuat pria yang ada di depannya menjerit karena geli.

"Jangan kau cubit"

"Terus?"

"Kau cium saja"

"Dasar", kata gadis itu sembari memukul wajah Maruli dengan buket bunganya.

"Shima! Kau kelihatan beda yah"

"Kenapa aneh yah?"

"Tidak. Itu make up kau ketebalan", selorohnya sembari tertawa.

Sontak gadis itu merasa jengkel. Ia kembali memukul wajah Maruli dengan buket bunga yang ada di tangannya. Maruli masih saja terkekeh. Entah sejak kapan membuat Shima kesal adalah hobi baru baginya.

"Tidak kok tidak. Kau terlihat cantik"

Shima terdiam. Pipinya mulai memerah. Tak ada yang pernah bilang seperti itu kecuali Sangga dan keluarganya. Maruli seperti asing baginya saat ini.

"Bohong"

"Tapi serius. Aku tak berbohong. Kau tampak cantik daripada biasanya"

"Terima kasih", katanya lirih.

"Sama-sama. Ku harap kau akan selalu memakainya. Tampak lebih indah", katanya.

Shima hanya terdiam. Mencoba mengolah beberapa kata dari orang-orang yang memuji kecantikan dirinya. Tapi memang benar, dia harus mulai berhijrah mulai sekarang. Sudah lama sekali ia selalu membuka tutup auratnya. Menganggapnya sebagai hal yang wajar tak menimbulkan dosa. Tapi jika di kaji lebih dalam, entah berapa Nista yang ia buat. Entah berapa dosanya yang tak menutupi auratnya.

'Ya Allah, malu rasanya aku telah hidup lama karena-Mu tapi enggan menutup aurat yang wajib ku tutup di batang usiaku sekarang ini', gumamnya dalam hati.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang