Sebuah Berita

875 62 2
                                    

Shima membuka pintu rumahnya. Tidak terlalu besar memang. Rumah dengan aksen kuno peninggalan neneknya tercinta. Tubuhnya terasa begitu letih. Ia baru saja pulang setelah semalaman begadang di UGD. Beberapa hari lalu Sangga sudah pergi. Harusnya ia telah sampai di transitnya yang pertama sehari yang lalu. Tapi pria itu belum juga mengabari Shima. Gadis itu menghela napas ketika belum juga ada notifikasi di ponselnya.

"Dasar", umpatnya.

Seharusnya Sangga menepati janjinya untuk menghubungi gadis itu. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Shima berjalan menuju kamarnya. Rumahnya terasa begitu sepi. Wajar saja tidak ada siapapun dirumahnya kecuali ia sendiri sepeninggal neneknya beberapa tahun lalu.

Gadis itu segera menghambur ke kamar mandi. Membersihkan dirinya dari segala penat yang ia rasakan seharian. Kulit putihnya pun terasa begitu lengket. Menjadi dokter koas bukanlah hal yang mudah. Siap menjadi pembantu selama 24 jam bahkan ada yang lebih.

Setelah tubuhnya bersih, ia segera mengeringkannya. Memakai pakaian santai miliknya. Shima suka sekali memakai dress selutut dengan lengan yang pendek ketika di dalam rumah. Ia melenggang menuju dapur. Tangannya mulai membuka pintu kulkas. Meraih sebuah botol air mineral disana. Seketika, ia meneguknya. Dingin sekali rasanya. Hari ini ia ingin bersantai di rumah sebelum kembali berangkat ke rumah sakit. Shima melenggang pergi ke ruang santai.

Ia nyalakan acara televisi. Entah berapa lama televisi itu di biarkan menganggur begitu saja. Ia mengganti saluran televisinya. Telinganya mendengarkan, namun matanya terfokus pada majalah yang saat ini ia baca.

"Pemirsa, kecelakaan pesawat Indonesia bernomor penerbangan JT100 jurusan Jogjakarta-Singapura terjatuh di perairan selat Malaka, korban-"

Shima membulatkan matanya. Matanya terfokus pada apa yang ia dengar. Ia kerasukan volume suara televisinya. Kini tampak begitu jelas. Bukankah itu pesawat yang di tumpangi Sangga? Bukankah transit pertama Sangga adalah Singapura? Ia tahu betul dan pasti. Karna saat Sangga memesan tiketnya, Sangga di temani dirinya. Bahkan dia sangat hafal nama dan nomor penerbangan pesawat yang di tumpangi Sangga. Hatinya bergemuruh. Berguncang begitu saja. Darahnya berdesir tak tentu.

Kring..
Kring..

Ponselnya berbunyi. Shima meraih ponselnya yang ia letakan di meja. Tertera disana sebuah nama. Nama yang amat ia kenal mama Rose. Dengan sigap, tanpa berpikir panjang lagi dia segera mengangkatnya.

"Halo", suara wanita di ujung sana tampak parau.

"Mama ada apa? Sangga baik-baik saja?"

"Ini Tante Luci sayang, Shima bisa kerumah mama Rose sekarang? Penting sekali"

"Saya kesana sekarang Tante"

Shima memutuskan teleponnya. Pikirannya kacau. Ia takut sekali. Shima bergegas mengganti bajunya. Ia segera melenggang pergi kerumah Sangga. Apapun yang terjadi, ia harus memastikan Sangga baik-baik saja.

                           ***.                              

Shima masuk kedalam rumah Sangga. Pintu disana terbuka amat lebar. Ia tahu kerabat Sangga banyak ada disana. Termasuk Tante Luci yang baru saja menelponnya menggunakan ponsel mama Rose. Benar saja, banyak sekali kerabat Sangga di dalam sana. Mama Rose menatap Shima yang terheran di ambang pintu. Ia beranjak dari duduknya. Di peluknya gadis itu dalam dekapannya.

Wanita itu menangis sembari memeluk Shima. Ia peluk erat-erat tubuh Shima. Meraung, membuat Shima ikut menangis tak kuasa melihat mama Rose nya bersedih. Apalagi ia telah berjanji pada Sangga bahwa ia akan menjaga kedua orang tuanya.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang