Tanpa Mereka

876 60 0
                                    

Sirosis hati bukanlah suatu penyakit yang dapat di sepelekan. Pasalnya penyakit itu adalah sumber dari gejala kanker hati. Penyakit itu telah menyita waktu Shima sebagai dokter. Gadis itu merasa telah pulih jauh berhari-hari yang lalu. Namun tetap saja dokter spesialisnya mengatakan untuk tetap tinggal di rumah sakit. Padahal ia sangat merindukan rumah sakit dimana ia yang menjadi dokter untuk mengobati pasien-pasiennya.

Baru sebentar ia merasakan hal itu. Namun sakitnya tidak membiarkan ia untuk menjadi dokter lagi. Bosan dan jenuh. Ia ingin pulang ke rumah, menjalani rutinitasnya seperti biasa. Apalagi kini tak ada teman yang menemaninya. Ia memang selalu di jaga oleh mama Rose dan papa Nando. Tapi rasanya ada yang kurang sejak Maruli telah pergi bertugas.

Bahkan sampai hari ini, Mosha belum memberikan kabar tentang dirinya di perbatasan sana. Lalu apa kabar Maruli yang juga tengah menjalankan tugasnya. Entah tugas apa itu tapi yang ia tahu mereka berdua sedang menjalankan kewajiban yang mulia. Mereka tengah mengabdikan dirinya kepada negara seperti sumpah hidup mereka jauh saat mereka memutuskan untuk menjadi seorang prajurit pagar bangsa.

"Kenapa sayang?", Tanya mama Rose.

Wanita itu rupanya sedari tadi memperhatikan Shima. Gadis itu tampak murung dan melamun. Beberapa kali juga ia berusaha menyentuh gadis itu. Menyadarkannya dari lamunan yang entah apa.

"Nggak ma"

"Kamu sepi ya nggak ada Mosha sama Maruli"

Shima tersenyum. Ia menatap dua manik mata mama Rose. Ah betapa wanita itu amat baik padanya. Wanita itu mencurahkan segala kasih sayang padanya. Persis seperti mendiang ibundanya. Betapa bersyukurnya dia. Jarang sekali ada orang lain yang akan mencinta seperti ibu sendiri.

"Nggak ma. Kan ada mama Rose dan papa Nando. Buat apa lagi aku kesepian?"

"Shima. Mama tau kamu sayang"

Mama Rose menyentuh rambut-rambut kecil Shima yang keluar dari hijabnya. Wanita itu merapikannya. Memasukannya ke dalam hijab. Ia sentuh pipi gadis itu. Begitu dingin. Shima menyentuh tangan mama Rose.

"Sayang, mama tau dua orang tentara itu suka sama kamu. Iya kan?"

"Engga ma. Dia cuma temen aku aja. Kita pernah bareng-bareng di Natuna. Aku, Mosha, Maruli, Sangga sama temen-temen yang lain"

"Tapi cara pandang mereka ke kamu beda sayang. Mama tau itu, kamu anak mama juga sama seperti Sangga mama tau kamu dan orang-orang di sekitar kamu. Tapi mama seneng kalo kamu memilih salah satu dari mereka. Mereka berdua orang baik"

Shima hanya tersenyum. Ia tahu mereka berdua adalah orang-orang baik yang Tuhan kirim untuk dirinya. Tapi ia tak yakin apakah Tuhan mengirimkan mereka berdua hanya untuk menjadi pelindung atau salah satunya menjadi pendamping.
____________________________________

Mama Rose merapikan tempat tidur Shima. Gadis itu telah terlelap setelah bercakap-cakap panjang. Di pandangnya wajah menenangkan Shima. Ia tahu bagaimana wajah itu. Kulitnya memucat. Perlahan-lahan waktu membuat pigmen kulitnya yang putih menjadi kekuningan. Sedih rasanya melihat gadis itu penuh di rundung kesengsaraan.

Mama Rose sudah mengenal Shima bertahun-tahun lalu. Ia bahkan mengenal almarhum nenek Shima. Ia tahu betul cerita malang gadis itu. Itulah yang membuatnya simpati. Namun simpati itu telah menimbulkan rasa kasih dan sayang yang amat luar biasa. Gadis itu bagaikan putrinya sendiri.

"Sudah tidur?", Ucap Nando yang tiba-tiba datang di belakang Rose.

Rose mengangguk. Nando memapah tubuh istrinya keluar kamar. Ada sesuatu yang ingin ia katakan pada sang istri tercinta. Nando mendudukan istrinya di kursi tunggu rumah sakit.

"Ada yang ingin papa katakan pada mama"

"Iya pa"

"Ini masalah anak kita"

Mama Rose menghela napas. Ia harus siap mendengar apapun yang suaminya katakan. Ia tau suaminya baru saja berbicara dengan dokter yang menangani Shima.

"Kondisinya bukan semakin baik ma. Justru semakin buruk. Ia mungkin tampak baik tapi ia tidak baik ma"

"Kulitnya kuning", ucap Rose tiba-tiba.

Nando terdiam. Ia menghela napas panjang. Ia takut kehilangan anak untuk kedua kalinya. Shima telah mendarah daging buatnya. Gadis itu bagaikan putrinya sendiri. Ikatan darah tak berarti baginya. Yang paling berarti baginya saat ini adalah ikatan kasih sayang.

"Papa tidak ingin kehilangan anak papa yang kedua kalinya ma. Dia bukan darah daging papa tapi rasa sayang papa padanya seperti seorang ayah pada anaknya. Sangga juga pasti setuju dengan perasaan papa kan ma?"

"Iya pa. Sangga pasti setuju. Mama pun setuju karna pada dasarnya kita semua mencintainya pa"

"Papa ingin melihat dia bersama kita. Bahkan papa ingin, papa sendiri yang menikahkan dia"

"Papa akan melakukannya. Percaya pada mama"

Nando merengkuh bahu istrinya. Di peluknya begitu saja. Ia kecup puncak kepala Rose. Rose memeluk suaminya. Memejamkan matanya begitu saja. Ia menangis dalam dekapan Nando. Rasanya begitu nyaman untuk mengeluarkan segala lelah yang ia rasakan.

"Papa mau berjanji pada mama"

"Ya"

"Apapun yang terjadi, kita hadapi sama-sama. Kita saling menguatkan. Apalagi menguatkan Shima. Kita harus menjaga dia bersama ya pa"

"Ma. Itu bukan janji. Tapi kewajiban kita. Tapi papa akan tetap berjanji ma"

Rose semakin menguatkan pelukannya. Mencurahkan segala rasanya. Sakit, perih, iba segalanya. Sirosis bukanlah hal yang tidak menakutkan. Perlahan hati penderita akan membeku dan mengeras. Kehilangan fungsi yang sebenarnya hingga pada akhirnya nanti, penderita tidak akan bertahan lama. Obat yang di beri dokter hanya untuk menghambat dan mengurangi rasa sakitnya.

Banyak kemungkinan yang akan terjadi. Entah itu kanker bahkan meninggalnya si penderita. Tentu Shima telah tau semuanya bahkan tanpa di beri tau pun ia tau berapa lama lagi hidupnya yang di perkirakan dokter. Karna ia sendiri pun adalah seorang dokter. Ia tau pasti seberapa parah penyakit yang ia derita.

Dari balik ruang kaca itu, ia menatap dua orang yang duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit. Dua orang yang tengah berpelukan mesra. Ia tersenyum. Di tatapnya dua telapak tangannya. Shima membalikan tangannya, menatap punggung tangannya yang mulai kekuningan. Ia merindu hari-hari yang lalu. Tanpa penyakit yang akan membuatnya mati.

Ia takut. Ia sangat takut. Tak ada yang menguatkannya. Ia merasa menjadi seorang yang berada dalam titik paling lemah. Ia menangis. Rasa sakit kembali menghujam tubuhnya. Ia tahankan segalanya ia takut kalau-kalau membuat dua orang yang di depan sana khawatir karnanya.

Ia tak kuat lagi. Bibirnya mulai merintih. Di sentuhnya perutnya. Bibirnya mulai bergumam. Meminta bantuan dari Allah Ta'ala. Keringat mulai menetes membasahi wajahnya. Membasahi seluruh tubuhnya. Dalam sakitnya ia terus bergumam.

"A’uudzu bi’izzatillahi wa qudratihi min syari maa ajidu wa uhaadziru"

"A’uudzu bi’izzatillahi wa qudratihi min syari maa ajidu wa uhaadziru"

"A’uudzu bi’izzatillahi wa qudratihi min syari maa ajidu wa uhaadziru"

Tiada hentinya. Sang maha Kuasa pasti mendengar doanya. Ia yakin dalam segenap hatinya. Sesekali ia meringis menahan sakit. Tapi gumamamnya tak pernah ada matinya. Hingga akhirnya untuk sekian kalinya Shima tertidur. Ia tertidur seketika. Tidur dalam mimpinya yang entah apa. Namun sedikit mengurangi rasa sakit itu. Kebesaran Tuhan memang ada. Jika Allah telah berkata kun fa ya kun maka apa yang terjadi, terjadilah. Keajaiban yang tak pernah bisa kita nalar dengan akal pikiran namun bisa kita rasa dan saksikan kemaha kuasaan-Nya.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang