Aku Takut Gelap

1K 77 1
                                    

Malam terlihat sangat pekat. Dinginnya mengelilingi desa. Pukul 8 malam. Sangga masih berjalan kesana kemari di teras rumah. Raut wajahnya begitu cemas.

"Kita udah cari tapi nggak ada ngga", kata seorang pria bertubuh gempal.

Suaranya terengah-engah. Menderu. Rumah tampak kosong. Hanya ada Sangga dan pria gempal itu disana. Sedari tadi mereka semua mencari-cari gadis bermata jeli itu. Namun tidak ada hasilnya. Shima bagaikan hilang ditelan bumi. Lenyap begitu saja.

Penjuru desa telah mereka telusuri. Mulai dari posko, rumah-rumah warga dan semua tempat yang mereka kunjungi. Tak ada satupun yang menemukannya. Gadis itu entah pergi kemana.

"Ya udah, lu tunggu rumah biar gua cari"

Pria itu bergegas pergi dari tempat itu. Meninggalkan seorang pria gempal yang masih terengah-engah di depan rumah. Sungguh dia ingin segera menemukannya. Ia bahkan tidak memaafkan dirinya sendiri atas apa yang ia katakan yang membuat gadis itu marah padanya.

"Shima!"

"Shima!"

"Shima!"

Tak ada yang menyahut. Suaranya lantang menggelar. Tapi entah kemana yang dicari pergi. Rasanya lelah sekali mencari gadis itu.

"Ada apa ini?"

Sangga terhenti. Ia menatap seorang lelaki berperawakan gagah. Kulitnya putih bersih. Raut wajahnya begitu sangar. Rahang-rahangnya tegas.

"Te... Teman saya hilang pak", katanya.

Ia tahu siapa yang mengajaknya bicara itu. Terlihat jelas dari apa yang di kenakan laki-laki itu. Pakaian loreng dengan sepatu pdh yang terlihat sangat gagah. Jelas sekali lelaki di hadapannya adalah seorang tentara. Ia sedikit gugup. Canggung. Walaupun dari raut wajah lelaki di hadapannya itu menggambarkan bahwa mereka seperantara.

"Laki-laki atau perempuan"

"Perempuan"

"Siapa namanya? Biar saya bantu cari"

"Shima. Namanya Shima"

Lelaki itu tampak membelalakan matanya. Entah terkaget atau apapun itu. Ia menepuk bahu Sangga. Matanya menatap tajam kearah laki-laki berdarah Bali Lembata itu.

"Saya akan bantu cari. Nama saya Mosha. Kamu bisa cari saya di markas saya"

"Se... Sebelah pos-"

"Ya sebelah posko. Boleh saya minta nomor teleponmu?"

"Ah iya pak"

Sangga mengeluarkan ponselnya. Tangannya bergetar. Rasanya ia begitu takut. Bukan karena apa. Ia takut kehilangan Shima. Ia takut kehilangan gadis itu. Di berikannya ponsel genggam itu. Dengan sigap Mosha menyalin angka-angka yang tertera pada layar ponsel sangga. Ia kembali menepuk bahu laki-laki itu.

"Saya akan temukan dia. Secepatnya", katanya mantap.

Mosha berlari meninggalkan Sangga begitu saja. Pria itu masih mematung di tempatnya. Menatap punggung Mosha yang telah hilang entah kemana. Dalam batinnya berharap sangat pada laki-laki itu. Sangat. Apapun demi Shima.
____________________________________

"Shima!"

"Shima!"

Tak ada jawaban atas segala panggilannya. Mosha berdiri di atas bukit. Bisa ia lihat samudera luas disana. Hitam, pekat. Tak ada apapun. Seluruhnya gelap. Tapi hanya tempat itu tujuannya. Entah mengapa nalurinya berkata bahwa gadis itu berada di dekat pohon Akasia di sana.

Ia semakin mendekat. Namun tak ada apapun. Hanya ada kegelapan. Deburan ombak yang beraturan. Nafasnya sedikit terengah. Bukan jarak yang dekat untuk sampai bukit itu. Mosha berkacak pinggang. Menyapu seluruh pandangannya di sekeliling bukit dan Akasia, tempat dimana Shima selalu bersandar.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang