Pergi

966 60 0
                                    

Lorong rumah sakit terasa sangat senggang. Sangga berlari menelusuri lorong sepi itu. Hanya derap langkahnya yang menggebu. Di bukanya pintu ruangan koas begitu saja. Lagi-lagi Shima terduduk di mejanya. Kadang gadis itu termenung, kadang melamun, kadang pula menulis dengan indahnya diatas kertas-kertas putih. Gadis itu tengah melamun rupanya. Ia tatap arlojinya. Pukul 10 malam. Entah ini tepat atau tidak, yang jelas ia tahu Shima pasti sudah selesai dengan tugas monitornya.

Sangga mendekatinya perlahan. Sekarang hatinya bimbang apakah ia akan mengatakan hal yang paling bermakna dalam hidupnya atau tidak. Hatinya dilema hebat. Bagaimana tidak, ia berhasil meraih beasiswa yang ia ajukan beberapa bulan lalu dengan percepatan waktu koasnya. Ia berhasil meraih apa yang ia cita-citakan selama ini. I Gusti Sangga Langit, seorang pria yang lahir dari keturunan bangsawan Bali dengan darah Lembata. Pria berkulit hitam itu mampu menunjukan pada orang-orang bahwa ia mampu meraih apa yang tidak dapat orang-orang miliki.

Beasiswa full S-2 di Karolinska Institute. Bukan mudah dikatakan orang-orang dapat peruntungan agar bisa menjajal bangku pendidikan di sana. Tapi disini, pihak kampus lah yang meminta Sangga menjadi bagian dari mereka. Memang tidak bisa di ragukan kemampuan pria berdarah Bali Lembata itu. Bukan main cerdasnya. Hanya saja ia tak terlalu menunjukkan hal tersebut pada orang lain.

"Kenapa ngga?", Tanya Shima tiba-tiba.

Ternyata gadis itu telah terbangun dari lamunannya. Ia terkekeh pada Shima. Rasanya berat ingin mengatakan hal yang akan ia katakan. Ia tahu Shima pasti akan sangat bahagia mendengarnya. Yang ia takutkan hanya satu. Shima akan sendirian jika dia pergi. Tak ada yang menjaga gadis itu. Pikirannya hanya sebatas itu. Mengingat gadis itu tak memiliki siapapun lagi di dunia ini.

"Ma, aku mau ngomong"

"Masalah apa?"

Sangga mendudukan dirinya pada kursi di depan Shima. Gadis itu menyangga rahangnya dengan tangan kanannya. Menunggu Sangga akan memulai percakapannya. Pria itu menghela napas panjang. Cukup banyak tenaga yang akan ia kumpulkan pada Shima.

"Ma.."

"Ya?"

"Aku..."

"Kamu kenapa?"

"Karolinska.. itu"

Shima membulatkan kedua matanya. Matanya membulat seketika. Senyumnya merekah begitu saja. Entah mengapa mendengar kata Karolinska membuatnya girang. Ia melonjak dari duduknya.

"Kamu di terima kan?", Tuturnya dengan semangat.

Sangga mengangguk. Ia tersenyum tipis. Betapa bahagianya Shima. Ia tahu bahwa pria itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Ia tahu potensi sahabatnya. Hatinya terus berseru senang. Ia sangat bahagia. Biarpun dikatakan pada seluruh dunia, sudah pasti dan sudah jelas Shima lah yang paling bahagia mendengar berita itu.

"Ma..", kata Sangga.

Suaranya parau. Tak ada lagi senyum di wajahnya. Shima terheran. Namun ia masih menyunggingkan senyum selebar-lebarnya. Betapa tidak, ia begitu bahagia. Seakan dialah yang di terima di Karolinska.

"Ngga, ada apa?"

Shima menyentuh kedua tangan Sangga. Ia dekatkan wajahnya pada Pria itu. Menatap kedua bola mata disana. Ada raut kesedihan. Namun ia tak mengerti mengapa. Padahal seharusnya Sangga bahagia. Seharusnya Sangga berbangga. Namun sayang seribu sayang, Dalamnya lautan bisa di duga, dalamnya hati siapa yang tahu.

"Ma kamu nggak papa?"

"Loh kok aku?"

"Aku takut ninggalin kamu sendirian"

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang