"katakan apapun saya siap jadi pendengarmu kali ini"
Sangga mulai menggerakkan tangannya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Kemudian bernapas melalui selang yang ada di hidungnya. Suara alat-alat medis terdengar begitu berat.
"Sa..ya.. sen..d..ri.."
"Shi..ma..ti...dak..i..kut..to..long..ban..tu..sa..ya..pu..lang..."
"Saya akan bantu kamu pulang. Tapi tidak sekarang. Tidak. Tunggu kau pulih dahulu"ujar Maruli.
Sangga menggelengkan kepalanya pelan. Rasanya lemah sekali. Ia tahu maut tengah berada bersamanya. Ia tau hidupnya tiada lama lagi. Ia tak ingin membuang banyak waktu. Ia ingin pulang dan bertemu mama dan papa tercintanya.
"Saya..mo..hon..", katanya lagi.
Pria Bali Lembata itu tersengal-sengal. Tetatih-tatih dalam berbicara. Ada sebuah oksigen pada hidungnya namun rasanya ia sulit sekali bernapas. Ia ingin segera pulang meskipun kemungkinan besar ia akan mati di jalan. Ia tak peduli ia ingin pulang kesana. Bahkan ia ingin pulang ke Lembata, tanah kelahirannya tercinta. Dimana ia tumbuh dan besar di pesisir pantai.
"Ba..wa..sa..ya..pu..lang..be..ri..tau.. papa..mama..sa..ya.. ji..ka..saya ma..ti.. saya ingin.. pulang..dan di..kubur..da..lam..tanah Lembata"
"Apa yang kau kata! Kau belum mati!", Maruli mulai naik darah.
Sangga cukup membuatnya sedikit bebal. Ia tak suka membicarakan kematian dan segalanya. Sangga mengerjapkan matanya. Ia meringis. Rasa sakit begitu menikamnya. Dadanya terasa sesak. Sakit sekali.
"Kau kenapa?!", Tanya Maruli. Pria itu sedikit khawatir.
Sangga nampak begitu kesakitan. Bagaimana tidak, paru-paru nya telah penuh dengan air. Tertutup sudah kemungkinannya akan bertahan lebih lama. Tapi lain bagi Maruli. Dia percaya pada dokter secara logis. Ia pun percaya pada Tuhan. Pasti ada kesembuhan bagi Sangga. Apalagi ia telah menyaksikan sebuah mukjizat. Ia saksikan seorang pria yang masih hidup dalam kecelakaan pesawat yang seluruh penumpangnya meninggal dunia.
"Bapa... Ber..sama..sa..ya.."
"To..long..be..ri..saya..Ker..tas..dan..pena"
"Untuk apa?!"
"To..long"
Maruli terdiam. Ia menghela napas. Kemudian keluar dari ruangan Sangga. Ia berjalan menuju administrasi. Siapa tahu ia bisa meminta secarik kertas dan meminjam pena.
"Boleh minta kertas dan pinjam pena?", Katanya setelah sampai di administrasi.
Tidak terlalu jauh memang ruang inap Sangga dengan ruang administrasi. Seorang wanita paruh baya tersenyum begitu lembut. Kemudian memberikan sebuah pena dan kertas yang diminta. Maruli tersenyum kemudian berlalu dari sana. Ia masuk kembali ke ruang inap Sangga. Pria itu masih terbujur lemah sekali. Ia menghela napas. Kemudian duduk kembali di samping ranjang laki-laki itu.
"Sudah saya berikan"
Sangga nampak tersenyum. Walaupun tidak terlalu jelas. Namun dalam hatinya amat bahagia. Ia meraih pena yang di berikan Maruli. Kemudian mulai menggoreskan pena itu di secarik kertas. Maruli hanya terdiam menunggui pria itu. Apapun yang pria itu lakukan ia akan berdiam saja.
Beberapa menit kemudian, Sangga telah selesai menulis diatas kertas itu. Tulisannya tidak jelas. Maruli pun tidak bisa membacanya. Lebih terlihat seperti tanda tangan daripada sebuah tulisan. Ia tetap mencoba diam.
"Sam..paikan... Pa..da Shima.. dan ini.. untuk...orang..tuaku.."
"Surat?"
Sangga terdiam. Ia tak menjawab yang dikatakan Maruli. Maruli meraih kertas itu. Melipatnya, kemudian memasukkannya dalam saku baju lorengnya.
"Sa..ya..bahagia..23 tahun..saya..hidup bersama keluarga yang amat menyenangkan..."
"Sa..ya..bahagia menge..nal..Shima..saya..bersyukur an..da..meno..long..saya.."
"An..da tau? Sa..ya..hen..dak..belajar di Karolinska, Swedia.. ta..pi.. Tuhan, be..gitu..men..cintai saya.."
"Bapa..telah..men..jemput..saya"
"Tugas..saya..usai..sa..ya..akan..Kem..bali"
"Maafkan..saya..apa..bila..saya mem..miliki banyak..do..sa"
Sangga meringis. Rasa sakit kembali menghujam. Ia terlalu banyak bicara. Dadanya semakin sesak. Meskipun banyak sekali oksigen yang keluar melalui selang, tetap saja rasanya tak ada oksigen di paru-parunya. Sangga membuka mulutnya. Sakit sekali. Ia tak bisa bernapas. Paru-parunya telah sesak oleh air. Ia mengatupkan kedua tangannya erat-erat. Matanya terpejam.
"Tuhan Yesus, Penyelamatku,
engkau memilih untuk mati di kayu salib untuk menghapus dosa umat manusia. Aku menerima dengan tenang dari tangan Tuhan, apapun cara kematian yang diizinkan Allah agar terjadi padaku, termasuk segala kesakitannya, kesedihan dan penderitaan yang menghantarku ke sana. Semoga aku, melalui rahmat-Mu, dapat kembali kepada-Mu dengan pertobatan yang sempurna, sekarang ini, dan di saat ajalku"Pria itu tidak terbata lagi. Ia tahankan segala sesak yang ada dalam dadanya. Mencoba lancar dengan doanya. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia mencoba bertahan. Untuk kali ini saja. Ia terbatuk-batuk. Ia melanjutkan doanya lagi.
"Tuhanku, yang berkuasa atas hidup dan maut, oleh kehendak-Mu dan keadilan-Mu, Engkau menentukan bahwa semua manusia yang berdosa harus wafat dan beralih dari dunia ini. Lihatlah kepadaku yang berlutut di hadapan-Mu, berserah diri atas kehendak dan hukum keadilan-Mu. Dengan segenap hatiku, Aku menolak segala dosa- dosaku di masa yang lalu. Untuk alasan ini, aku menerima kematian sebagai silih atas segala dosaku, dan di dalam ketaatanku akan apa yang menjadi kehendak-Mu"
"Sementara menunggu saat ajalku, bantulah aku untuk menggunakan kesempatan yang telah Engkau berikan kepadaku dengan sebaik- baiknya, untuk melepaskan diriku dari keterikatan terhadap dunia ini, untuk memutuskan belenggu apapun yang mengikatku dengan dunia ini, dan untuk mempersiapkan diriku untuk berdiri dengan pengharapan dan keyakinan yang teguh di hadapan tahta pengadilan-Mu. Karena itu, aku menyerahkan diriku tanpa syarat ke dalam tangan-Mu. Terjadilah kehendak-Mu, sekarang dan selama- lamanya. Amin"
Ia menyelesaikan doanya. Sangga menghela napas. Matanya masih terpejam. Ia tersenyum meskipun tidak terlalu terlihat. Maruli masih menatapnya.
"Kau tertidur?", Tanyanya tiba-tiba.
Tut..
Tut..
Tut..Sangga telah pergi. Maruli mulai panik. Ia panggilkan segala orang-orang yang berpakaian putih. Mereka datang. Memeriksa pria berdarah Bali Lembata itu. Tapi tidak lagi. Pria itu sudah berpulang dalam pelukan Tuhan dan Bunda Maria nya. Maruli menunduk di sudut ruangan. Ia akan mengantarkan jasad Sangga pulang.
Di keluarkannya ponsel dari sakunya. Ia menghela napas. Ditekannya sebuah nomor. Nomor sahabat karibnya nan jauh disana. Ia harus mengabarkan berita yang ia bawa.
Kau ingat Sangga kawan? Hari ini tepat pukul 21.46 waktu Indonesia bagian barat, dia telah berpulang kepada sang maha kuasa. Hari ini ku tolong dia, tapi pada malam ini, aku saksikan dia mati kawan.
Pesan itu terkirim diujung sana. Sampai pada nomor yang di tuju. Jauh nan disana, Mosha menghela napas. Getir perasaannya. Tak percaya pada apa yang tertulis. Tapi apa yang dia baca adalah faktanya. Percaya tak percaya itulah yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Ocean
RomantizmDiayu Ratu Shima harus bertemu dengan Sangomasi Mosha Zebua, seorang perwira muda yang tengah bertugas. Sifat Shima yang tangguh dan berani rupanya membuat Mosha jatuh hati. Namun sayang, cintanya harus di ukur dengan hadirnya Simonagar Maruli Hutap...