Sirosis

869 59 0
                                    

Senja begitu terasa begitu indah. Melukiskan semburat jingga pada langit Parangtritis. Keagungan Tuhan yang luar biasa. Shima menapaki garis pantai dengan bertelanjang kaki. Tangan kanannya masih memegang erat jas putih miliknya. Jas kebesarannya. Debur ombak terasa sangat dingin dikakinya. Tangannya melebar. Merasakan angin seakan-akan memeluk tubuh kecilnya itu.

"Aku suka pantai", katanya.

Maruli mengikuti gadis itu di belakang. Rasanya menyenangkan bisa berdua dengannya. Tapi hatinya juga tak mau diam ketika ia tahu sahabatnya juga mencintai Shima. Ia hanya terdiam. Mendengarkan semua keluh gadis itu.

"Pantai bisa membuatku tenang. Jauh dari beban masalah. Apalagi hujan"

"Ada apa dengan hujan?", Tanyanya kemudian.

Shima terhenti. Membalikan tubuhnya untuk menatap Maruli. Di tatapnya dua manik mata tajam itu. Ia tersenyum begitu lugu. Indah sekali. Sesaat ruang waktu di sekitar Maruli seakan terhenti bersama senyuman Shima yang terus terkembang.

"Hujan tak pernah membiarkan orang lain tahu kalo aku sedang menangis"

"Biar hujan membias air matamu agar tidak terlihat, biar aku yang meniadakan tangis padamu"

Shima terdiam. Matanya dalam menelusup ke jantung hatinya. Namun seketika, tangannya mulai mencubit perut Maruli. Pria itu terkekeh seketika. Mereka tertawa bersama. Matahari terbenam menjadi saksinya. Tawa Shima yang paling lepas yang pernah Maruli dengar. Gadis itu benar-benar tertawa.

'aku tau', gumam laki-laki itu dalam hati.

Ia tahu sekarang bagaimana rasanya. Tak heran lagi baginya. Tidak ada yang ia tanyakan lagi mengapa Sangga suka sekali membuat gadis ini tertawa. Rasanya menyenangkan. Menyenangkan sekali.

"Maruli!"

Maruli terhenti. Namun tidak dengan Shima. Gadis itu masih menari bersama ombak. Ia tak memperdulikan suara yang terdengar dari jauh. Gadis itu lupa kapan ia merasa begitu sebahagia ini. Mungkin saat ibundanya masih ada. Atau mungkin saat hidupnya lengkap bersama nenek, Sangga, mama Rose dan papa Nando. Semuanya tampak menyenangkan.

Maruli menatap seorang gagah yang berdiri disana. Dadanya begitu bidang. Wajahnya tertutup sedikit oleh topi loreng. Pria itu berjalan lagi. Maruli membelalakan matanya. Senyumnya mengembang. Ia berjalan pula mendekati pria itu.

"Mosha!", Katanya setelah ada di depan pria itu.

Mosha tersenyum. Matanya mulai menyipit seperti biasa. Ia rengkuh Maruli dalam pelukannya. Di tepinya beberapa kali bahu pria itu.

"Terima kasih telah menjaga dia"

"Itu juga kewajiban buatku"

Beberapa detik. Kemudian Mosha melepaskan pelukannya. Tiba-tiba ia membelalakan matanya. Wajahnya terlihat panik. Pria itu segera berlari meninggalkan Maruli. Maruli menatap Mosha yang berlari ke arah Shima. Betapa terkejutnya ia melihat gadis itu jatuh tergolek lemah.

"Shima! Shima!", Panggil Mosha sembari menepuk pipi gadis itu.

Tapi yang di panggil rupanya masih saja terpejam. Mosha menatap tangan kiri Shima yang tergolek. Bercak darah ada disana. Ia tatap wajah gadis itu lagi. Di sudut bibirnya terlihat bekas darah. Betapa paniknya dua laki-laki itu.

"Maruli cepat nyalakan mobilku"

"Dimana kucinya?"

"Ambil di saku celanaku cepat!"

"Lalu motorku?"

"Bilang pada anak buahku untuk bawa motormu ke rumah sakit juga, ayo cepat!"

Maruli mengangguk. Pria itu berlari sekencang mungkin. Membawa tas dan jas putih milik Shima. Sedangkan Mosha di belakangnya membawa tubuh gadis itu dalam gendongannya. Dadanya berdegup kencang. Tak menentu. Dalam dadanya ia terus berdoa. Memohon kepada Tuhan untuk keselamatan gadis itu.
***

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang