Pelarian

1K 82 0
                                    

Ombak berdebur begitu ribut. Tak pernah jemu. Suaranya bising tapi menyenangkan. Angin begitu kencang. Membawa dingin yang begitu menggigil. Namun tak pernah ada niat sedikitpun untuk beranjak dari sana. Mosha menghela napas. Ia suka senja bersama samudra itu. Merenungkan segala lelah yang dirasanya. Senja itu amat begitu gelap baginya. Andai ada satu bahu saja untuknya bersandar.

Ia ingin menangis. Mengadu. Menjerit sejadi-jadinya. Tapi ia takut. Ia adalah seorang prajurit. Tak ada dalam kamusnya kata menyerah. Lidahnya terasa Kelu. Rasanya ingin sekali berkata-kata. Namun satu yang ia tak bisa. Ia sulit mengatakan apapun termasuk perasaannya sendiri pada orang lain.

Bagaimanapun ia mencoba. Meski hatinya menjerit sangat kesakitan, bibirnya akan berkata saya baik-baik saja. Matanya terus menerawang jauh kesana. Melabuhkan pikirannya jauh di angan-angan. Sesak. Perih. Sakit. Air matanya berlinang begitu saja. Ia tak kuat. Sudah cukup.

"Papa...", Ujarnya lirih.

Bahkan terasa tak terdengar. Larut bersama angin lalu. Ia hapus air matanya dengan kasar. Tak ada yang boleh tahu. Termasuk dirinya sendiri. Ia tak suka menangis. Ia tak suka air mata. Tapi semuanya terasa jelas. Surat itu dan kabarnya. Tak bisa di pungkiri kejelasannya.

"Hei...", Seorang gadis menyapanya dengan riang.

Gadis itu mendudukan dirinya di samping Mosha. Tempat yang sama yang ia suka. Samudera. Gadis itu menatap Mosha. Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajahnya. Ia tahu itu. Tak biasanya pria itu akan terdiam seperti itu. Sorot matanya yang indah kini hilang entah kemana.

"Kakak kenapa?", Tanyanya tiba-tiba.

Mosha terdiam. Ia tatap dua manik mata jeli milik gadis di sampingnya. Begitu indah. Ia tersenyum begitu saja. Namun tetap saja. Rasanya getir. Mosha menggelengkan kepalanya. Kemudian kembali menatap samudera luas disana.

"Kak"

Shima mulai menyentuh bahu pria itu. Mosha kembali tersenyum. Ia tak menatap wajah Shima. Tangannya meraih tangan Shima di bahunya. Di genggamnya dengan erat.

"Temani Abang dik"

Shima terdiam. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Pasti ada sesuatu yang membuat pria ini menjadi tak bergairah. Mosha seakan bukan Mosha yang ia kenal. Mosha yang biasa ia temui menjelang sunset datang. Ia masih menatapnya. Pria itu masih menatap samudera sana. Wajahnya terbias semburat senja. Perlahan kepalanya mulai turun. Jatuh di bahu Shima. Betapa terkejutnya gadis itu. Namun ia terima kepala itu lebar-lebar.

Mata itu mulai mengerjap. Shima bisa melihatnya. Secara langsung. Sedekat itu. Jantungnya mulai berdebar. Bergetar bersama aliran darah yang terus berdesir. Mosha memejamkan matanya. Merasakan kehangatan yang luar biasa. Ia merasa begitu nyaman. Tenang.

"Sore ini...", Katanya menggantung. Gadis di sampingnya tak berkomentar. Membiarkannya terus bicara.

"Pukul 17.47 kepada ayahku..."

"Yang meninggal dunia pukul 17.10 maaf ayah, Mosha tidak bisa pulang. Pengajuan cuti Mosha di tolak"

Sudah jelas sekarang. Apa yang membuat laki-laki itu begitu hancur. Shima terdiam. Cukup lama. Ia tahu bagaimana kehilangan orang yang paling di cintanya. Ia kehilangan ayahnya jauh sebelum dirinya melihat dunia. Kehilangan orang tua satu-satunya ketika dirinya menginjak usia tujuh tahun. Ia tak miliki siapapun setelah itu. Hanya nenek dari ibunya saja. Itu pun harus ia relakan saat neneknya juga di panggil Tuhan beberapa tahun lalu.

Ia tahu betapa sakitnya hati pria itu saat ini. Kehilangan bukan sesuatu yang mudah di terima. Butuh kesabaran yang kuat untuk melakukannya. Jangan tanya bagaimana rasanya. Sangat, amat menyakitkan. Tak ada bandingannya.

"Dik, kamu tahu? Abang tak akan pernah memakai pakaian ini tanpa adanya beliau. Dari tangan beliau anak-anaknya tercetak sebagai abdi negara"

"Abang tak pernah tau beliau akan pergi secepat itu. Kamu tau? Rasanya baru kemarin kami bertemu. Bercanda. Berkebun bersama. Beliau tidak kaya dik, tapi lewat didikannya kami semua di bentuk"

"Semua saudara Abang ada tujuh orang. Lewat didikannya enam diantaranya termasuk Abang telah berhasil menjadi apa yang beliau ingin. Tapi belum puas abang membanggakannya, belum puas abang untuk berbakti padanya, belum puas abang memberi padanya. Beliau telah di panggil Tuhan untuk selamanya"

"Baru kemarin dik, rasanya kemarin Abang masih ada di boncengan kereta anginnya. Duduk di belakangnya. Di kayuhnya kencang-kencang kereta angin itu. Baru kemarin dik, Abang makan dari tangannya"

"Baru kemarin pula, beliau memukul kaki Abang dengan rotan. Baru kemarin dik, beliau kayuh kereta anginnya ke kota untuk membeli obat untuk anak laki-laki keenamnya yang sakit"

Shima tak kuasa lagi mendengarnya. Di usapnya air matanya dengan kasar. Ia tahu bagaimana rasanya. Pasti perih. Ia pernah merasakan. Ia tahu betul.

"Menangis selagi kamu bisa. Aku akan ada disini, selalu bersamamu"

Tiba-tiba tubuh Mosha berguncang hebat. Bahunya naik turun. Ia menangis! Tersedu. Tak kuat lagi menahan segalanya. Keluarlah segalanya. Segala keluh yang ia rasa. Segala beban yang ia sembunyikan seorang diri. Beberapa menit. Hanya beberapa menit saja. Tangisnya terhenti. Cukup baginya. Ia menghapus air matanya. Kemudian beranjak dari bahu Shima.

"Terima kasih"

"Tidak"

Mosha menatap Shima. Ia terheran pada gadis itu. Shima tersenyum. Matanya masih sembab. Namun senyumnya telah merekah.

"Aneh memang", katanya.

"Tahu nggak? Di dalam sebuah persahabatan ada dua kata yang di larang. Maaf dan terima kasih"

"Jadi.. Abang sahabat adik?"

"Bisa di bilang gitu, kalo kakak mau"

"Sahabat?"

Mosha mengacungkan jari kelingkingnya. Senyumnya telah kembali. Shima mengaitkan kelingkingnya. Ia senang bisa membantu pria itu. Betapa pria itu telah banyak membantunya.

"Sahabat", timpalnya.

"Kamu ada kemari?", Tanya Mosha tiba-tiba.

"Yang pertama ini tempat kesukaanku. Dan kakak tau itu. Yang kedua aku ingin menulis. Dan yang terakhir kakak sendiri tau apa yang aku lakukan setiap sore"

Mosha terkekeh. Hampir ia lupa. Bahkan hampir setiap hari mereka selalu berpapasan di tempat ini. Memang tak jarang juga mereka tak bertemu di sore-sore yang lain. Tapi senja yang membawa mereka selalu bertemu, selalu membuat percakapan diantara keduanya.

"Tempat pelarian terindah yah?", Ujar Mosha.

"Sangat"

"Abang ingin membawamu kesana, boleh?"

"Dimana?"

Mosha terkekeh. Ia cukup terhibur sekarang. Hatinya cukup tenang. Ia terdiam sejenak. Di tatapnya laut itu. Begitu indah dengan semburat jingga di awan.

"Abang ingin membawamu jauh, ke ujung dunia"

Shima terdiam. Bibirnya menyunggingkan senyum. Masih ia tatapi wajah itu dari samping. Diam-diam ia suka menatap Mosha dari samping. Entah sejak kapan.

"Kita akan nikmati senja berdua. Kita akan pergi menjelajah seluruh samudra. Mau?"

"Apa?"

"Maukah kamu duduk berdua denganku? Menghitung berapa senja yang dapat kita nikmati bersama"

"Aku selalu disini"

"Abang berharap seperti itu. Abang takut kamu pergi jauh"

"Memang kenapa?"

"Kesepian, tak ada bahu itu lagi, dan pasti Abang akan rindu"

Shima tersenyum. Ia bahagia bisa mendengarnya. Rasanya menyenangkan sekali. Bukan, tidak hanya menyenangkan. Tapi luar biasa. Sangat.

"Biarpun aku pergi, percayalah aku akan tetap berada disini. Bukan hanya nama yang akan kutinggalkan tapi kenangan"

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang