Mosha membuka ruang inap Shima. Gadis itu tampak tersenyum. Cahaya di wajahnya telah kembali meskipun masih terlihat pucat pasi. Beberapa hari di rumah sakit membuatnya sedikit bertenaga. Gadis itu tampak tersenyum pada Mosha menyambut laki-laki yang kini berjalan mendekatinya.
"Hai", sapa gadis itu.
Mosha tersenyum. Raut wajahnya terlihat datar. Seperti tak bersemangat. Shima menatapnya. Ia angkat dagu pria itu agar wajahnya mendongak ke arahnya.
"Ada apa?"
"Tidak ada"
"Bohong"
Mosha tersenyum. Kemudian menggenggam kedua tangan Shima dengan sangat erat. Perlahan pria itu menghela napas panjang. Kemudian beranjak di sisi ranjang Shima yang kosong. Menatap langsung wajah gadis itu.
"Maafkan Abang"
"Kenapa?"
"Abang harus pergi"
"Kemana?"
"Satgas"
Shima tersenyum. Kini tangannya yang berganti menggenggam tangan Mosha. Di tepuknya bahu pria itu. Baru kali ini ia melihat Mosha lemah sekian lama setelah kejadian bertahun lalu di Natuna ketika ayahnya di panggil Tuhan.
"Pergi kak. Ini tugasmu. Menjaga negara"
"Kamu lupa? selain menjaga negara tugasku juga menjaga kamu, jadi aku khawatir sama kamu setiap waktu"
"Aku baik-baik aja. Sirosis bukan suatu penyakit yang berbahaya kok"
"Kamu...?"
"Iya aku udah tau kok. Kakak jangan khawatir"
Mosha melepaskan tangan Shima. Kemudian beranjak dari duduknya. Di belakanginya gadis itu. Ia berpikir darimana Shima tau semua itu. Padahal dia dan Maruli telah bersepakat untuk menyembunyikannya.
"Sirosis bukan suatu penyakit yang sembarangan dik!", Katanya sedikit tinggi.
Namun yang ada gadis itu malah terkekeh. Ia tersenyum begitu lebar. Membuat pria berseragam loreng di sana tampak jengkel. Mosha membalikan badannya, mendudukan kembali tubuhnya di ranjang Shima.
"Tau dari mana kamu?"
"Aku yang dokter. Kakak tentara, jadi kakak harus melindungi bangsa ini. Bangsa ini sedang butuh kakak ya"
"Tapi keadaannya tidak terlalu genting. Aku hanya berjaga patroli patok saja di Kalimantan"
"Tau darimana?"
"Hei... Aku yang tentara kamu dokter, jangan sok ngerti"
Shima terkekeh. Bersamaan dengan Mosha. Pria itu telah bisa tertawa seperti biasanya sekarang. Shima sedikit lega. Ia menyukainya. Ia suka Mosha yang ada di hadapannya. Ia suka Mosha yang tersenyum padanya. Ia suka Mosha yang menghilangkan matanya jika tertawa. Ia suka tawa Mosha yang menggema di langit-langit.
"Ada apa?", Tanya Mosha.
"Tidak"
"Besok dini hari aku berangkat. Jaga diri baik-baik. Maruli akan menemanimu"
Shima mengangguk. Ia selalu mengerti pergantian penjagaannya. Jika Maruli yang pergi maka Mosha akan datang. Tapi jika Mosha yang pergi maka Maruli lah yang akan menemaninya. Hari itu, Mosha penuh menjaga Shima hingga pukul sebelas malam. Sampai gadis itu terlelap. Sungguh tenang wajahnya. Ia suka menatapnya berlama-lama. Entah sejak kapan. Mungkin sejak senja di Natuna kala itu. Shima telah menjadi kebiasaannya. Ia selalu tergila-gila dan jatuh dalam cinta gadis itu. Tak masalah buatnya. Jatuh cinta kepadanya bagaikan menjatuhkan diri pada tumpukan mawar yang wangi, sekalipun sakit tapi tetap terasa indah.
____________________________________
00.30 WIB
"Kalian akan pergi bertugas jauh dari keluarga. Adakah yang keberatan?!", Teriak Mosha pada anak buahnya.
"Siap tidak!", Jawab mereka serempak.
"Hari ini kita akan segera meluncur ke Kalimantan guna menyelesaikan persengketaan patok-patok negara kita. Jadi di mohon pada kalian semua untuk mengerahkan tenaga kalian untuk operasi yang akan kita gelar ini. Mengerti?!"
"Siap! Mengerti!"
"Setelah saya bubarkan kalian langsung ambil semua barang kalian pastikan tidak ada yang terlewat dan segera masuk ke helikopter yang telah di sediakan. Bubar jalan!"
Orang-orang berbaju loreng itu mulai menghormat. Mosha membalasnya. Kemudian seketika mereka membubarkan barisan. Memunguti satu-satu barang-barang untuk di masukan ke kendaraan yang akan membawa mereka meninggalkan Jogja. Wajah mereka coreng moreng tak di kenali. Mosha juga melakukan hal yang sama. Ia balurkan wajahnya dengan warna hitam dan hijau. Kulit putih bersihnya bahkan tidak di kenali lagi. Pria itu mulai naik ke helikopter bersama dengan rekan-rekannya yang lain. Beberapa hari ke depan ia akan sangat sibuk berpatroli. Bahkan ia tak membawa alat komunikasi kecuali alat komunikasi khusus yang di peruntukan untuk para tentara negara Indonesia.
Helikopter mulai memutar baling-baling nya. Beberapa diantaranya bahkan telah terbang meninggalkan yang lainnya. Mosha menunduk teringat akan ayah dan bundanya tercinta. Teringat akan saudara-saudara nya di kampung sana. Ah betapa rindunya pria itu. Ia lupa kapan terakhir kali mereka semua bertemu dan berkumpul. Rasanya ia telah lama sekali meninggalkan rumah. Banyak tugas yang menantinya. Bahkan masih terngiang jelas bagaimana saat ayahnya meninggal. Ia gagal meminta surat cuti.
Ah kelam rasanya. Ia merasa menjadi anak paling durhaka di dunia. Tak sadar air matanya meleleh. Ia terisak seorang diri. Cepat-cepat ia hapus. Ia tak ingin di anggap lemah. Meskipun dia sendiri sangat mengakui keadaannya memang sedang rapuh. Amat rapuh.
Beberapa jam kemudian pesawat berhenti tepat di atas hutan rimba Kalimantan. Masih terlihat sangat gelap sangat mencekam. Pasalnya arloji di tangan Mosha masih menunjukan pukul setengah tiga pagi. Tapi dengan cekatan, perwira muda itu langsung memerintahkan anak buahnya turun dengan seutas tali. Satu-satu dari mereka turun dengan tali itu. Ngeri bukan main, tapi itulah prajurit siap mati demi NKRI. Mosha melakukan hal yang sama. Ia juga turun melalui seutas tali.
Ia mulai memimpin pasukannya. Siap untuk beroperasi. Mereka mulai bergerak. Berjalan di belantara Kalimantan. Tugas negara menantinya. Bukankah mereka telah mengetahui apapun resiko prajurit. Prajurit memikul beban paling besar, sebab kedaulatan NKRI berada dalam tanggung jawabnya.
Mosha berdiri paling depan. Memikul sebuah senapan model SS2 di tangannya. Di belakangnya juga terlihat anak buahnya berjalan dengan senapan mereka masing-masing. Operasi ini memang di lakukan secara rahasia. Mereka hanya bergerak saat gelap saja karena adanya kecurigaan pelangkahan batas patok oleh warga negara tetangga. Entah bagaimana itu bisa terjadi padahal sudah ada TNI khusus yang di kirimkan untuk menjaga daerah perbatasan tersebut. Namun dalam berita yang di dapatkan warga negara tetangga tersebut sengaja memasuki wilayah Indonesia untuk mengedarkan narkoba. Mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki pecandu narkoba paling banyak nomor 3 di dunia.
Operasi ini pun dilakukan dengan bantuan para TNI yang menjaga markas perbatasan tersebut. Pasukan itu terus berjalan maju. Peluh mulai basah. Membanjiri setiap tubuh yang mulai kelelahan. Sudah satu jam setengah mereka berjalan tanpa henti. Melintasi Medan yang bahkan belum di kenal sama sekali. Apapun yang mereka lihat di sisi kanan dan kiri adalah hutan. Mosha terus berjalan tidak henti. Ia yang memegang kendali. Ia yang bertanggung jawab atas misi ini. Apapun yang terjadi, hidup atau mati, merah putih harus selalu berkibar di hati. Itulah janjinya. Itulah sumpahnya. Ia tak mau mengingkari ataupun mengkhianati. Hanya seorang pecundang yang mampu berkhianat pada negara sendiri. Ia harus menuntaskan operasi rahasianya demi NKRI.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Ocean
RomanceDiayu Ratu Shima harus bertemu dengan Sangomasi Mosha Zebua, seorang perwira muda yang tengah bertugas. Sifat Shima yang tangguh dan berani rupanya membuat Mosha jatuh hati. Namun sayang, cintanya harus di ukur dengan hadirnya Simonagar Maruli Hutap...