Lampu-lampu ruang operasi telah dinyalakan. Semuanya akan menjalani kehidupan masing-masing. Di ranjang satu, terbujur Shima dengan semua alat-alat medis yang menancap pada tubuhnya. Pada ranjang satu lagi, sudah terbujur dengan kaku Maruli. Wajahnya begitu pucat, dingin dan tak lagi bernyawa. Tapi organ tubuhnya masih berfungsi. Mekanisme dalam tubuh yang memang dimana saat orang mati, organ mereka masih berfungsi hingga 6 jam lamanya. Bertahap ikut mati bersama pemiliknya. Namun masih ada waktu, untuk melakukan operasi transplantasi hati seperti apa yang Maruli mau.
Dokter-dokter itu mulai membuka dan membelah kedua tubuh itu. Mereka mulai memainkan alat-alat bedah. Mengaplikasikan dengan ilmu yang mereka miliki untuk menolong nyawa yang masih ada di dalam salah satu tubuh itu.
Mosha tampak begitu gelisah. Dadanya masih sangat sesak. Ia berjalan kesana dan kemari. Mencari ketenangan dirinya namun nihil. Ia semakin cemas. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruang operasi beberapa jam kemudian. Mosha, Nando dan Rose segera menghambur.
"Selamat, operasi cangkok hatinya berhasil. Hati dari pendonor di respon positif oleh penerima. Saya permisi dulu"
Mosha bersujud seketika. Tuhan tak pernah tertidur. Ia terus mendengar doanya. Beberapa menit kemudian Shima keluar dari ruang operasi. Ia masih tertidur karna efek obat bius yang di berikan. Nando dan Rose segera mengikuti kemana Shima akan di bawa. Mosha masih menunggu seseorang yang masih ada di dalam ruangan itu.
Beberapa orang keluar membawa jenazah Maruli. Mosha segera menghambur. Dia menghentikan aktivitas orang-orang itu. Di bukanya sebuah kain putih yang menutupi wajah Maruli. Ia menatapnya untuk yang terakhir kalinya. Wajah yang selalu tertawa kepadanya. Wajah yang selalu kaku pada orang lain. Pria itu telah berpulang untuk selamanya.
"Kau prajurit bangsa terhebat. Kau laki-laki yang paling hebat untuk Shima. Kau selamatkan nyawanya, kau selamatkan juga bangsa kita. Selamat jalan kawan. Komando!"
Mosha menghormat. Matanya panas sekali. Air matanya mendesak turun melalui pelupuk matanya. Untuk kesekian kalinya ia menangis karena Maruli. Ia masih menghormat. Membiarkan Maruli di bawa oleh orang-orang itu ke ruang jenazah untuk segera di kremasi.
"Mosha! Mosha!"
Seorang wanita segera menghambur ke arah Mosha. Ia memeluk laki-laki itu kuat-kuat. Tangisnya pecah bersama Mosha yang ikut memeluknya.
"Dia telah pergi bibi...", Jerit Mosha.
"Jangan tangisi nak, Maruli ku telah berbahagia di surga", jawab wanita itu.
Wanita itu menghapus air matanya. Kemudian melepas pelukannya. Seorang lelaki memeluknya dari samping. Dua pasang mata yang selalu menyiratkan kebahagiaan kini berubah. Kedua pasang mata itu sembab tak beraturan.
"Dimana Maruli ku nak?", Tanya wanita itu.
"Mereka membawanya ke ruang jenazah bi"
Wanita itu tersenyum. Kemudian menepuk bahu Mosha. Bersama dengan laki-laki yang di sampingnya, ia pergi melenggang meninggalkan Mosha. Mereka adalah kedua orang hebat yang telah membesarkan satu orang hebat yang pernah Mosha kenal, kedua orang tua Maruli. Betapa tegarnya mereka. Anak mereka telah mati, tapi hati mereka begitu tegar, tak rapih seperti hatinya.
Mosha masih menatap keduanya yang mulai menjauh dari tatapannya. Perlahan menghilang di balik lorong rumah sakit. Maruli, nama itu kembali terngiang dalam sanubarinya. Seakan-akan telah hidup bersama dirinya. Memang benar, Maruli masih hidup meskipun dalam tubuh Shima.
____________________________________Mosha menatap seorang yang masih tertidur di ranjang rumah sakit. Ia masih setia menunggunya. Di genggamnya tangan Shima erat-erat.
"Maruli telah menyelesaikan pengorbanan yang ia bisa. Hebat ya? Tapi memang dia prajurit yang paling hebat. Besok ia akan di makamkan. Aku akan hadir kesana. Jaga diri baik-baik"
"Tapi aku tidak perlu khawatir saat ini. Yah, Maruli selalu menjagamu di dalam hatinya sekarang, yang kini sudah menjadi milikmu"
"Aku berharap adik cepat sadar"
Pria itu mulai meletakan tangan Shima kepada tempatnya. Ia melenggang pergi dari ruangan. Rasanya sesak sekali. Ia tak pernah berpikir hidupnya akan seperti ini. Ia tak akan pernah menyangka akan kehilangan Maruli secepat ini. Pria itu mendudukan dirinya di kursi tunggu. Tiba-tiba Nando menghampiri dirinya begitu saja.
"Rasanya memang sesak ditinggalkan orang yang paling kita cintai pergi. Tapi mereka juga tidak suka melihat kita terus terpuruk nak"
"Saya terlalu egois pada Maruli paman, saya tidak tau Maruli akan seperti ini"
"Tuhan telah memilih jalan untuk masing-masing manusia. Mungkin hari ini adalah Maruli yang harus pergi tapi entah besok dan selanjutnya. Semuanya sudah diatur oleh-Nya. Kita manusia hanya bisa berdoa dan berserah diri"
Mosha terdiam. Ia mencoba meresapi apa yang Nando katakan. Laki-laki itu memang benar. Bagaimanapun ia harus tegar dengan semua yang telah terjadi. Bukankah Tuhan telah menjanjikan sesuatu di dalam kitab-Nya yang maha luar biasa bagi umat-Nya yang sabar. Ia harus percaya akan hal itu.
"Saya... Mau pulang paman. Besok saya akan datang kembali kemari setelah pemakaman Maruli. Sampaikan ini pada Shima jika dia telah siuman"
Mosha memberikan satu buah surat pada Nando. Nando menerimanya begitu saja. Beberapa menit Mosha masih terduduk. Namun terdiam bersama Nando.
"Paman, saya pamit", katanya.
Pria itu mencium punggung tangan Nando. Nando menepuk bahunya sedikit keras. Ia tahu betul betapa sakitnya anak muda itu. Ia pernah merasa kehilangan dan kehilangan memang tak pernah terasa menyenangkan.
"Nak, kehilangan memang tidak pernah terasa menyenangkan. Karna aku pernah mengalaminya jauh sebelum kamu. Tapi tetap semangat"
"Iya paman, terima kasih"
Perlahan, Mosha mulai berjalan menjauh. Nando masih menatap punggung laki-laki muda itu dalam koridor gelap rumah sakit. Gesekan sepatunya dengan lantai rumah sakit menimbulkan suara khas. Nando tersenyum simpul. Punggung itu semakin menjauh dari pandangannya. Begitu gagah, begitu perkasa. Tapi siapa yang tau tubuh yang perkasa belum tentu memiliki hati yang kuat.
Nando tau, betapa remuknya hati pria yang tengah berjalan itu. Tapi mau tak mau, itulah takdir hidup yang harus di jalani oleh siapapun. Tak ada yang mampu lolos dari cobaan hidup. Mosha tampak tak terlihat lagi dalam manik mata Nando. Sebuah kekaguman menyelusup dalam hatinya. Mengenai seorang pemuda tangguh yang baru saja ia temui tadi. Dia Sangomasi Mosha Zebua.
Nando menatap Shima dari balik kaca. Ia mulai beranjak dari duduknya. Ia harus menunggui Shima di dalam. Istrinya, Rose tengah pulang ke rumah mengambil beberapa pakaian lagi. Di tatapnya tubuh itu.
"Sepertinya memang banyak sekali yang mencintaimu sayang. Selain putraku dan kami, ada dua pemuda tangguh. Yang satu telah berkorban untukmu dan yang satu lagi akan segera berorban. Bukan karena apa kamu mendapatkan pengorbanan karna kamu memang pantas di perjuangkan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Ocean
RomanceDiayu Ratu Shima harus bertemu dengan Sangomasi Mosha Zebua, seorang perwira muda yang tengah bertugas. Sifat Shima yang tangguh dan berani rupanya membuat Mosha jatuh hati. Namun sayang, cintanya harus di ukur dengan hadirnya Simonagar Maruli Hutap...