Pulang

951 69 1
                                    

Mosha berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Pagi ini ia telah kembali dari Medan tugasnya dengan selamat. Tak ada yang terluka dalam pertempuran itu. Ia berhasil meringkus pelaku penyelundupan. Bahkan tugasnya di lakukan lebih cepat dari yang seharusnya. Tapi setelah mendarat di markas, ia di kejutkan dengan telepon yang mengatakan kondisi terbaru Shima yang sangat terpuruk.

Ia membuka pintu ruangan tempat dimana Shima di rawat. Tubuhnya kaku. Gadis itu tampak tidak berdaya. Banyak sekali selang dan belalai medis yang melilit tubuh kecil itu. Tubuhnya nampak semakin kurus. Ia mulai berjalan mendekat. Ia mendudukkan tubuhnya di kursi samping ranjang. Perlahan tangannya mulai menyentuh tangan Shima. Dingin sekali.

"Aku hanya pergi satu Minggu lebih tapi keadaanmu menjadi seperti ini. Kamu bilang akan baik-baik saja"

Ia tau gadis itu tidak akan mendengarnya. Ia tau gadis itu tidak akan menjawab perkataannya. Ia tau itu. Mosha menghela napas. Berat sekali. Rasanya dadanya terasa begitu sesak. Ada sesuatu yang ingin keluar dari sana. Entah apa. Sebuah perasaan yang tak mampu di jelaskan.

"Tapi aku tau, kamu akan baik-baik saja. Kamu bilang kamu dokter dan pasti bisa menyembuhkan dirimu sendiri kan?"

"Aku pulang lebih cepat. Tugasku lebih mudah di atasi daripada perkiraan. Ku dengar Maruli juga mendapatkan tugas itu sebabnya dia juga meninggalkanmu"

Sekali lagi pria itu menghela napas. Tiba-tiba Nando masuk kedalam ruangan. Mosha segera berdiri dari duduknya. Di salaminya laki-laki paruh baya itu. Nando tampak lesu sekali.

"Bagaimana kabarmu nak?", Tanya laki-laki paruh baya itu.

"Baik paman. Baru saja pulang. Paman sendiri tampak kurang baik"

"Ya seperti ini"

Keduanya terdiam. Melamunkan pikiran mereka masing-masing. Mosha bukanlah Maruli yang dengan mudah dapat mencairkan suasana. Nando menghela napas.

"Begitu kondisinya", katanya tiba-tiba.

"Dokter bilang, putriku sedang koma. Sirosis yang di deritanya semakin parah. Jalan satu-satunya adalah transplantasi hati"

"Cangkok hati?"

"Iya. Tapi hatiku dan juga hati istriku belum cocok dengannya. Kami sedang mencari donornya berapapun harganya akan kami bayar. Dia memang bukan darah daging ku tapi dia adalah putriku"

"Saya bersedia"

"Eh jangan! Saya tidak mau"

"Kenapa paman? Kenapa tidak? Biarpun saya mati tapi saya tetap abadi saya ada bersamanya setiap waktu. Saya bahagia paman pun sama"

"Eh tidak nak tidak. Kita sedang mencari donor yang lain. Jangan kau atau Maruli. Tidak. Dia tanpa kalian sangat menyedihkan saya tidak mau itu"

"Paman, Shima menyedihkan tanpa saya dan Maruli. Jadi jika hanya tanpa saya dia masih bisa kuat karna ada Maruli"

"Tidak mosha tidak"

"Saya akan mencari dokter untuk memeriksa kecocokan hati saya dengannya"

Pria itu melenggang keluar. Nando berusaha mencegah namun percuma saja. Yang di cegah tak bisa di cegah. Mosha telah menghilang dari penglihatannya. Ia menghela napas. Menyesal sekali memberi tahu keadaan Shima pada anak muda itu.
____________________________________

Mosha berjalan menuju apa yang kakinya langkahkan. Suara decitan sepatu pdh miliknya bergema di lorong-lorong rumah sakit. Pria itu tak kenal kata mati. Ia siap dengan resiko apapun. Bukankah itu yang di dapatkan dari pendidikannya untuk tidak pernah takut mati. Ia telah sanggup.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang