PROLOG

152 11 0
                                    

Gelap menyelimuti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelap menyelimuti. Asap kopi hangat dan lilin merayap, berlomba ke atap. Tidak biasanya, cicak yang sedari tadi mengumpat menampakkan diri di antara baris bebukuan. Dari mata cicak itu, terefleksi sosok bungkuk yang sejenak membeku, berkonsenterasi penuh pada jari-jarinya. Sang cicak tersontak ketika tergerak aku yang telah lama mendiam.

Halaman pertama, halaman kedua, halaman ketiga, terus, terus, dan terus. Jariku mendesahkan lelah membalikkan buku hangat yang beratus-ratus lembar banyaknya. Tak Beraga, judul buku yang membaring kaku di bawah siraman sinar kuning lampu yang telah membusuk. Kugandeng buku ini ke lemari, ke deretan buku-buku sastra dan linguistik, di antara Teori Kesustraan-nya Rene Wellek dan Austin Warren dan sebuah buku usang berukuran A4 berjilid mika, Tak Berjiwa.

Adalah keajaiban aku berhasil melahirkan dua karya ini. Novel pertama, Tak Berjiwa, selesai pada 2013. Ceritanya berotasi pada seorang sepasang kekasih yang tidak beruntung. Sang pria menderita penyakit yang tidak memperbolehkannya melihat dunia sebagaimana mestinya, dan sang gadis terlahir tidak beruntung, "berbeda" dari orang lain. Bermasalah dalam membedakan wajah satu dengan wajah yang lain, sang pria harus hidup berdampingan dengan depresi dan alienasi. Suatu hari dia, tak sengaja, berjumpa dengan seorang gadis skizofrenia yang "senasib"-nya. Semenjak itu, mereka membangun hidup bersama, merangkai dunia sesuai perspektif mereka, dan berjalan di atas benang merah yang sama.

Kubiarkan Tak Beraga terlelap dalam debu. Tertidur di sandaran kusamnya buku. Membisu, menyaksikanku, mengambil pistol revolver, magnum .44, yang berdebu dan berjaring laba-laba dari laci mejaku. Kilap tetap menghiasinya.

"Halo teman lamaku, apa kabar?" tanyaku.

Blind Willie Johnson kubiarkan menggumam Dark was the Night, Cold was the Ground dari Nokia Asha 205 tua dengan tumpukan buku psikologi sebagai panggungnya dan gelap sebagai audien setia yang duduk di sudut ruang.

Lilin meremang, dan inilah saatnya...

Aku pernah memainkan permainan ini. Itu adalah Russian roulette, permainan paling berbahaya di dunia. Kau kalah, kau mati. Sekali permainan dimulai, hanya sekitar 83% kesempatan untuk hidup. Akan tetapi, untuk sekarang, aku mempunyai 0% kesempatan saat aku mengisi seluruh tabung peluru. Kali ini, aku sangat ingin kalah.

Revolver bersiap, mengacung ke kepalaku yang menegap. Ketika senjata itu kuarahkan ke belakang telinga kanan, kutanggalkan harapan. Kilas ingatan menghantui, merayuku untuk tetap, terus bernafas. Bayangan asa mengulurkan tangan, menjanjikan bahagia. Namun, itu tak mampu menghentikan jariku yang semakin mendekap pelatuk revolver.

Dor!

Sebuah timah panas menembus tulang temporal. Sempat melawat di lobus temporal sebelum akhirnya bersarang di serebelum. Pecahan-pecahannya bersebaran di antara lobus-lobus, termasuk batang otak.

Kursi mengkhianati; tak menopangku lagi. Aku tumbang bermati rasa. Aku tak merasakan apa pun, penderitaanku membekukan setiap sensor sakit dalam tubuhku. Darah mengalir, menciptakan sungai merah berpendar kilauan bertajuk horor. Hilir sungai merah itu adalah sebuah kertas. Kertas yang menjadi suara terakhirku di dunia ini. Darah membungkusnya dalam pesona merah. Tinta hitam larut dalam rayuannya. Sebagian pesan terakhirku hangus oleh darahku yang perlahan-lahan menghitam membeku. Ukiran kata-kata yang tersisa hanya,

...aku ingin berguna, meski telah tiada. Aku ingin tubuhku disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Jantung, ginjal, hati, kulit, paru-paru dan retinaku, tolong, sangat tolong, diberikan kepada mereka yang lebih baik daripada aku...

Narasi semakin lirih. Setangkai udara mustahil kupetik lagi. Redam menyungkup telinga, membunuh segala seru yang memintaku untuk tetap hidup. Eksistensi diri menguap. Latar dunia mulai kabur dari pandangan. Pandangan semakin buram.... buram... gelap... gelap... abu-abu... abu-abu... putih...

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang