Bab 7: Ginjal I

57 5 0
                                    

Terbelainya mataku oleh pesona sekitar. Kunang-kunang lalu-lalang menghiasi malam tanpa bintang. Sepinya tempat ini diisi oleh semarak paduan suara jangkrik. Tempat mendarat kami bukanlah jambang ataupun lift, melainkan sebuah pintu luar toilet di pinggir taman. Taman yang ditumbuhi berbagai bunga, dari melati, semanggi, dan sedap malam. Tempat yang sulit terhapus memori bagi mereka yang pernah berkunjung kemari. Tiada asing yang menjurangi antara aku dan taman ini; aku mengenalnya.

"Alhamdullilah, ya Allah," Pemandu bersujud, merendahkan kepala sampai mengendus tanah. "Tidak ada toilet. Tidak ada lift. Terima kasih, ya, Allah!"

"Akhirnya, tempat normal untuk kita," kataku.

Tiba-tiba, di tengah kebersyukuran, seorang pria berkelebihan berat badan melewati kami. Keras riuh keripik bungkus yang dikunyah pria itu mempolusikan udara yang sedari tadi hanya diisi kicauan jangkrik. Decit yang diakibatkan bergesekan lemak perutnya menambah ramai suasana taman. Gemuknya tubuh pria itu tak memungkinkan bajunya untuk menutup perutnya. Pria setengah baya ini seperti seorang wanita hamil yang mengandung kembar tiga. Terbukanya perut pria itu mengizinkanku untuk melihat jahitan di samping perutnya.

"Itu... dia adalah orangnya. Orang yang menerima ginjalmu," kata Pemandu. "Namanya: Subur Alam Syah."

Kami buntuti Subur dengan fokusku memperhatikan selain dia. Kulirik tiang listrik yang dulu di sebelahnya aku dan istriku sering bersandar. Terlewati ayunan taman yang dulu istriku kendarai saat sepi melanda taman ini. Penggalan-penggalan memori yang tercecer di jalan ini menggodaku untuk mengingat. Peti memori yang telah kukubur dalam pikiran tanpa sengaja terbuka kembali.

"Ada apa?" tanya Pemandu yang menyadari aku yang termangu, menatap fatamorgana masa lalu.

"Tidak apa-apa," kataku seolah-olah hanya ingin beristirahat.

Digiringnya kami oleh bayangan pria gendut ini ke pemukiman ramai dengan berjejernya pedagang kaki lima di pinggir jalan raya. Di salah satu kedai mie ayam, derap Subur mulai tak berirama. Mulutnya tiba-tiba berhenti memamah. Kakinya memaku. Matanya menyipit seolah-olah memfokuskan pada sesuatu kalimat dalam papan: "Tantangan: 5 mangkuk mie ayam dalam 30 menit. Habis: gratis. Sisa: bayar semua dengan tambahan."

Mata Subur dan pemilik kedai mie ayam itu bertembung. Senyap yang hanya meramaikan pertemuan antara keduanya. Subur pun mengangkat jari telunjuknya dan berkata dengan penuh keyakinan, "Saya menerima tantangan itu."

Pemilik kedai mie ayam tersontak dan kemudian menelan ludah. Segera pemilik kedai memerintahkan istrinya untuk menyiapkan mie ayam jumbo. Kurang dari sepuluh menit, tersaji lima porsi mie ayam yang jika dicampur semua dapat mengisi satu ember kamar mandi yang berkapasitas sepuluh liter.

"Silakan dinikmati," kata pemilik kedai perempuan.

"Peraturannya adalah Anda harus menghabiskan semua mie ayam ini dalam waktu 30 menit sendirian, tanpa dibantu orang lain," kata pemilik kedai laki-laki sibuk menyiapkan timer yang biasa digunakan wasit dalam lomba lari. "Jika masih ditemukan sisa, baik di dalam maupun di luar mangkuk, Anda harus membayar kelima-limanya, mengerti?"

Subur mengangguk serius.

Pemilik kedai mie ayam dan Subur bagaikan koboi Amerika yang menunggu jam berdentang pada pukul dua belas siang. Pemilik kedai siaga dengan timer-nya, sementara Subur bersiap dengan sumpitnya. Tampak keringat menetes di wajah panik para pemiliki kedai dan di lengan Subur yang belum berkutik sedari tadi.

"Pada hitungan ketiga," aba-aba pemilik kedai perempuan. "Bersiap. Satu, dua, tiga. Mulai!"

Sumpit dihunuskan Subur bagaikan katana dengan mie sebagai musuhnya. Subur tak mengunyah mie itu; dia langsung menumpahkan mie beserta kuah-kuahnya ke kerongkongannya secara utuh. Semua dihisapkan oleh mulutnya yang secepat kilat. Tidak sampai tiga menit, satu mangkuk dikosongkannya. Tersisa di mangkuk hanya aroma kemenangan. Tidak sampai lima belas menit, Subur berhasil menghabiskan kelima mangkuk lalu berserdawa sebagai pemenang dalam tantangan ini.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang