Bab 33: Kulit II

37 4 0
                                    

Sejatinya laba-laba akan melakukan apa yang predator biasa lakukan. Puas menyantap korbannya, dia akan kembali memburu mangsanya. Mengendap dalam gelap dan menerkam siapa pun yang dimatanya lezat di lidahnya. Dengan jaring lengketnya, tidak ada satu pun yang terlewat; semua terperangkap.

Bayangkan seekor laba-laba raksasa sebesar manusia, berintelektual, dan bertekanan nafsu tinggi seperti dolfin di masa suburnya. Bayangkan jaringnya yang mampu menjerat siapa pun dan apa pun, bahkan makhluk surga seperti burung merak.

"Ini adalah hari terindah dalam hidupku," kata Zakaria tersenyum puas, memasuki ruang bawah tanah di mana aku dan Mawar berduka. Terseret di tangannya seekor merak yang bulu ekornya telah rontok, satu per satu terserak di lantai. Dengan tangan kotor, Zakaria menjambaknya seperti benda mati.

"Aku akan menggunakanmu lagi, tapi, untuk sekarang, aku ingin tidur cantik," kata Zakaria melempar Indah ke dalam kandang anjing. "Kau seharusnya istirahat, besok kita akan melakukan hal yang lebih hebat lagi," lanjutnya dengan bahak tersadisnya.

Kembalilah Indah terkungkung. Jeruji menawannya, mendekap pesonanya. Masih ada hembus yang keluar dari hidungnya, tetapi matanya seperti mayat tak bernyawa. Perempuan malang itu seolah-olah pasrah dan menerima takdir yang menimpanya.

"Mengapa kau melakukan ini kepadanya?!" marahku kepada Zakaria. "Lepaskan istriku!" pukulanku kepada Zakaria hanyalah seperti hembusan angin lalu, dan segala jeritan kepedihan adalah ketidakadaan baginya.

"Hi, apa kau baik-baik saja?" tanya Mawar membangunkan Indah, menggoyang-goyangkannya dan berharap dia belum bertemu dengan ajalnya. "Oh, Tuhan, apa yang dilakukan pria itu kepadamu?"

"Tidak ada Tuhan di sini," ujar Indah bangun dari telungkupnya. "Jika kau ingin keluar, kau harus melakukannya sendiri," lanjut Indah meludahkan sesuatu yang mampu mengantarkan mereka keluar dari neraka ini, sebuah tangga untuk mendaki dari lubang kesengsaraan ini, yaitu kunci kandang anjing.

Geramku seketika terganti senyum. Mawar dan Indah akhirnya memetik setitik harapan. Dalam waktu singkat, keduanya berhasil merayap keluar dari jeruji, meninggalkan hanya tanda tanya di dalam kandang untuk Zakaria temukan nanti. Diam, penuh kehati-hatian, mereka membebaskan diri dari ruang bawah tanah.

Kemerdekaan mereka sedikit tertunda setelah menemukan pintu depan rumah terkunci rapat. Terpaksalah mereka menjadikan pintu belakang sebagai jalan keluar terakhir mereka, dan itu tidak semudah yang mereka pikirkan karena rintangannya adalah mereka harus melewati kamar Zakaria, tempat sang predator buas tertidur nyenyak.

Yang Terlupakan yang dibawakan Iwan Fals kencang menggema di sarang Zakaria, menyamarkan langkah lembut Indah dan Mawar. Zakaria mendengarnya sebagai kenyamanan, Indah dan Mawar menganggapnya sebagai kesempatan. Pelan, tetapi pasti, mereka mencapai pintu belakang rumah Zakaria.

"Akhirnya...," syukurku saat mendapati Mawar dan Indah di hadapan pintu belakang.

Terbuai oleh keberhasilan, keduanya tidak menyadari bayangan yang membuntuti mereka. Mawar tiba-tiba terlating ke belakang, sehingga dirinya harus tumbang. Dari rautnya, terefleksi mimpi buruk yang menggetarkan sekujur tubuh. Terlambat sudah bagi Indah untuk menyadari bahaya yang dilihat Mawar karena sibuk mengotak-atik pintu.

"Kau tidak akan bisa keluar dari sini," klaim Zakaria menyengat leher Indah dengan 50.000 volt listrik dari stun gun. "Kau telah terjebak di lubang yang lebih dalam yang pernah kau bayangkan."

"Tidak!" teriakku. "Lari, Mawar! Lari!"

Mawar tidak berkutik. Dia membeku, menggigil ketakutan. Tatapan Zakaria menusuk hingga ke tulang belakang, mencekik, membatukan siapa pun yang mematapnya balik. Mawar dan Indah gagal melarikan diri, dan terjerat jaring Zakaria kembali.

"Tolong... lepaskan aku," geleng Mawar saat Zakaria menyeret kakinya ke ruang bawah tanah, meninggalkan Indah yang tersengat tak sadarkan diri. Mawar merangkak melawan tarikan Zakaria, tetapi semua itu percuma dengan bertumpuknya ketakutan dalam hatinya. "Tidak... tidak... tidak... tidak...."

Sekeras mungkin aku melawan Zakaria. Menabraknya, menghantamnya, menendangnya, segala kucoba, tetapi tidak berpengaruh sama sekali.

"Ingin keluar dari tempat ini, hah?!" marah Zakaria membanting Mawar di luar kandang anjing, di ruang bawah tanah. "Satu-satunya jalan keluar dari tempat ini adalah ketika kau sudah tidak bernafas."

Kasar memaksa, Zakaria kembali menyimpul tangan Mawar dengan seuntai tali rafia ke belakang punggung Mawar. Tidak lupa juga mengikat kaki Mawar agar tidak ada lagi percobaan melarikan diri.

"Ok, waktunya hukuman!" girang Zakaria mendudukkan Mawar di kursi.

Sejenak dicari alat penyiksa di ruang bawah tanahnya, dan bertemulah dia dengan toples berisi garam pasir yang terselip di dalam laci mejanya. Pria sadis itu pun terseyum seraya menunjukkan toples kepada Mawar yang tak mampu lari darinya. Kemudian, Zakaria membelalakkan mata Mawar, dan secara perlahan-lahan, menaburi garam itu langsung ke bola matanya.

Pekikan pedih memekat di ruang bawah tanah. Mata indahnya kini tercemar oleh kemerahan seperti darah. Membuka pelupuk hanya akan memerihkan mata.

Permainan keji Zakaria harus berhenti ketika melabuh di telinga suara gedoran pintu di lantai atas. Itu adalah Indah yang masih dalam misinya untuk melarikan diri. Meskipun lemas tersengat listrik bertegangan tinggi, Indah tidak putus asa untuk meminta tolong dengan cara memalu pintu yang terkunci seraya berteriak agar ada yang menghampiri.

"Jangan nakal, atau aku akan memberikan lebih daripada garam," ancam Zakaria.

Terpaku di tempat, tidak bisa melihat. Ditinggalkan buta, yang dirasakannya hanyalah sakit semata. Mawar merunduk pasrah dan menderaikan air mata. Tidak ada satu pun cahaya yang menerangi dunianya saat ini. Harapan bagaikan mengabaikannya.

Aku memberang. Kelam menyelimuti akal sehatku. Bagaimana perasaan seorang suami menyaksikan mata istrinya dibutakan garam?! Tentu terbakar hatinya. Aku mengamuk tanpa arah, berkoar dengan penuh hina, dan berharap semua itu bisa memadamkan api kemarahan di dalam dada.

Di saat-saat kupikir tidak ada harapan lagi, terbisiklah untaian kata yang bagaikan setitik cahaya untukku dari mulut istriku, "Siapa di..."


Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang