Bab 19: Jantung III

46 4 0
                                    

Pintu-pintu yang kulalui sebelumya menciptakan trauma tersediri. Apa pun bisa terjadi di balik pintu. Entah kami berakhir di toilet dengan seseorang yang sedang buang air besar, kamar mayat dengan mayat yang membusuk, rumah dukun yang penuh dengan keangkeran, atau lift yang terpadati oleh bebauan tak sedap. Oleh karena itu, aku selalu menyiapkan mental dan fisik sebelum melangkah ke kegelapan di dalam pintu.

Namun, sepertinya, persiapanku tidaklah sia-sia saat menemukan diriku dan Pemandu bukan di tengah Jakarta, melainkan di tengah hutan belantara. Tidak ada tanda-tanda kemasyarakatan dan peradaban di sekitar, segalanya hanya hamparan rumput hijau dan pohon-pohon yang meraksasa.

"Wah, ternyata, pintunya masih menjadi kayu mentah," kata Pemandu menunjuk sebuah pohon.

"Mana kepintaranmu yang tadi? Kau bisa menjelaskan tentang quantum fisika, tetapi tidak bisa memperkirakan tujuan kita," hakimku. "Sekarang, bagaimana kita ke peradaban? Bahkan, kita tak tahu di mana kita sekarang...."

Kumarahi Pemandu dalam kesempatan ini. Pemandu pun sepertinya tidak mampu membalas kata-kata pedasku karena yang kudengar darinya hanyalah diam. Tiba-tiba, Pemandu memegang bagian atas kepalaku dan membuatku menoleh ke arah yang dilihatnya sedari tadi.

Aku tidak percaya apa yang kusaksikan. Tingginya mencapai 22 meter, dan 27 meter jika makhluk itu berdiri untuk mencicipi puncak pohon cemara. Raksasa itu luar biasa berat, derap kakinya bagaikan suara bedug yang dipukul sekuat tenaga. Panjangnya sungguh mencengangkan, sampai-sampai mataku harus bergulir dari ujung kanan ke ujung kiri untuk melihatnya secara keseluruhan. Makhluk yang menegunkanku dan Pemandu ini adalah seekor dinosaurus, seekor brontosaurus.

Jauh dari pandangan kami, terbentang luas danau yang di pinggir-pinggirnya dinosaurus memuaskan dahaga. Meminum dengan damai di sana, triseratop, allosaurus, stegosaurus, bahkan pterodaktil. Skenario ini begitu menakjubkan, sampai-sampai dalam pikiranku terdengar musik latar epik dari John Williams

"Mereka bergerak dalam kerumunan....," kata Pemandu terkagum-kagum. "Mereka bergerak dalam kerumunan."

"Tunggu dulu, ini bukan Jurrasic Park, apa yang kita lakukan di sini?" tanyaku panik. "Bagaimana kita kembali? Kita tidak bisa menyentuh apa pun dan belum ada satu pun pintu yang tercipta di zaman ini!"

"Oh, iya, bagaimana ini?" tanya Pemandu tambah panik. "Oke, aku harus tenang dan pikirkan kembali caranya," lanjut Pemandu mengusap dada dan mengatur nafas, berusaha untuk menenangkan diri. "Oke, aku tahu caranya. Tutup matamu sekarang!"

"Apa... apa yang akan terjadi?" tanyaku menuruti perintahnya. Suara jentik jari pun terdengar lantang.

"Sekarang, buka matamu," suruh Pemandu.

Dalam sekejap mata, kami sampai di halaman parkir rumah sakit jiwa tempat Kakek Rahap mengabdikan dirinya, Rumah Sakit Jiwa Islam Klender. Infrastrukturnya tidak jauh berbeda dengan bangunan yang terakhir kami lihat di masa depan.

"Tunggu dulu, jika kau bisa dengan mudahnya berpindah-pindah tanpa pintu, mengapa kau tidak menggunakannya sebelumnya?" tanyaku.

"Ah... ini sulit dijelaskan. Tapi intinya, aku tidak bisa menggunakannya kecuali pada waktu dan tempat tertentu dan ada batasannya. Aku menyimpan kemampuan ini di akhir-akhir. Selama kita bisa menggunakan pintu, kita gunakan pintu," kata Pemandu.

Kakek Rahap menyapa kami, sebelum kami menyapanya. Aneh, Kakek Rahap tampak lebih muda seperti baru beranjak 40-an, tidak seperti dirinya saat tiga tahun mendatang. Kakek Rahap yang melaju kencang hampir seperti berlari, menyegerakan aku dan Pemandu untuk mengikuti. Melewati dokter, perawat, bahkan pasien, Kakek Rahap menuntun kami ke seorang pasien yang sedari tadi menyerukan nama Yusdi Rahap.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang