Kuceraikan kedua pelupuk dan menerbitkan sepasang pucuk bola mata yang merindu semesta. Kujamah sekitar dengan mata ini dan menemukan bahwa kami berada di... toilet.
"Eh, di mana kita?!" tanyaku membentak.
"Kita di kamar mandi," singkat Pemandu menutup kembali pintu. Kami mendarat di dalam kakus berukuran tidak lebih dari 4 x 4 meter. Tak sampai satu detik pintu menutup, masuk seorang pria terburu-buru. Dikuncinya pintu tanpa menghiraukan kami yang kasat mata.
Dengan santainya, pria itu buang air besar di hadapan kami. Hajatnya keluar seperti air keran dan baunya seperti dia tidak melahap makanan selain rujak dan terasi. Kotorannya tak henti-hentinya mengebom toilet malang itu. Kami serta lalat, nyamuk, dan cicak di kamar mandi ini bernasib sama dengan Yahudi di Holocaust; aromanya sungguh membunuh setiap hidung yang menciumnya.
"Tolong hentikan!" teriakku panik.
"Tenang, aku sedang berusaha," kata Pemandu gugup mencari kunci dalam saku. "Aku kehabisan nafas," lanjutnya terambau sesak; layu seperti daun cokelat di musim gugur. Kurelakan tadahan tanganku untuk kepalanya bersandar. Lemas merajai dari tubuh Pemandu. Sejentik jari pun sulit direnggangkannya.
"Rian," kata Pemandu batuk, "tolong sampaikan pesan kepada orang tuaku: aku mencintai mereka. Aku tidak akan berhasil. Aku sekarat."
"Tidak!" bentakku. "Tunggu dulu! Kita sudah mati! Bertahanlah!"
Kami pun bertahan sampai titik darah penghabisan, tak mengibar-ngibarkan bendera putih. Penderitaan dari kaum berhidung baru berakhir setelah pintu kamar mandi terbuka oleh pria yang membuang hajat tersebut. Pemandangan pintu terdedah itu bagaikan sebuah gerbang surga yang terbuka untuk kami.
Tak berapa lama, Pemandu bangkit kembali dari kematian keduanya. Ribuan syukur langsung tersembur dari mulutnya. Pemandu pun kembali membara seperti tidak pernah sirna api semangatnya. Bahkan, tidak ada trauma psikologis yang terlintas di raut wajahnya.
"Pria yang hampir membunuh kita adalah orang yang menerima hatimu. Dia terkena penyakit infeksi, dan membutuhkan liver baru. Kau menyelamatkannya," jelas Pemandu saat kami menguntitnya. "Dia adalah polisi."
Siang menyambar dengan ganasnya. Pria yang kami ikuti ini dengan santai melahap dua mangkok pangsit berminum Coca-cola dengan matanya dimanjakan FTV berjudul Samudra di Tengah Jakarta. Tampak tidak ada satu pun yang dapat mengganggunya, dan itu termasuk telepon yang terus berdering setiap lima menit. Baru ketika matahari tepat di atas kepala, dia melepas rebah dan membasuh muka. Itupun setelah istrinya mengaum-ngaum dengan taring tajam dan kata-kata pedas kepadanya.
Gagahnya seorang polisi luput dari raga pria yang semrawut ini. Rambutnya tak tersisir, kaos kakinya merunduk satu, kemejanya lecek dan mencoba merangkak keluar dari celananya. Name tag-nya yang bertuliskan 'Rizal Maulana' pun hampir pudar. Dengan penampilan seperti remaja berandalan, Rizal memacu motornya 30 km/jam. Aku dan Pemandu hanya mampu mengekor bayangannya.
Singkat, kami sampai. Hanya perlu 10 detik untuk kami sampai di Polres Jakarta Utara yang berjarak 15 meter dari rumahnya. Jika jarak antara rumahnya dan tempat kerjanya dapat dicapai dengan jalan kaki, mengapa dia menggunakan motor? Apakah kakinya tertembak? Apakah dia sedang sakit? Aku rasa tidak. Aku dan Pemandu pun mengambil simpulan bahwa Rizal adalah contoh terbaik untuk manusia yang malas.
Simpulan kami menguat dengan kegiatan pertama Rizal saat sampai di Polres Jakarta Utara, yaitu tidur kembali di meja, di balik bilik administrasi, di samping kantor polisi. Tidak butuh waktunya lama untuknya terlelap nyenyak dalam mimpi di siang yang membara ini. Ketika rekan-rekannya sibuk-menggebu, Rizal bergeming tak terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]
RomanceRian bunuh diri dan mendonorkan 6 organ tubuhnya: retina, ginjal, jantung, hati, kulit, dan paru-paru. Akan tetapi, kematian bukanlah kehampaan. Rian tersadar di dunia serba putih dan bertemu seorang remaja yang memandunya menuju dunia yang ditingg...