Kusua balik pintu, semerbak aroma melati langsung membelai hidungku dan merayuku dengan sejuta kenangan. Terucapnya sapa hangat untukku dari sisi ruangan yang kusam tak tersapu. Warna seperti memudar dari setiap sudut, menenggelamkan seluruh isi rumah bersama debu dan abu-abu.
Sebelum aku menyadarinya, aku tahu ini adalah rumahku sendiri; istana paling berharga dalam hidupku. Tidak berbeda, semua sama. Segala yang kutinggalkan tak berkutik, semua dalam posisi seperti terakhir aku melihatnya. Lembab masih menyelubung. Noda-noda masih melekat dalam putihnya dinding. Barisan semut yang sama masih merayap di tirai jendela. Satu-satunya yang berbeda dari rumah ini adalah cermin di bawah tangga; dipantulkannya hanya hampa, tanpa diriku dan Pemandu yang berdiri di hadapannya.
Mendadak, pintu depan terbuka; seseorang memasuki rumah.
Tergenggam erat mata dan tubuhku oleh dia yang menandangi rumah tua ini. Dia mengunciku dalam kenangan masa lalu. Dipadamkan olehnya segala api rindu dalam sanubari. Dia satu dan satu-satunya istriku. Dia adalah Mawar, sejatinya belahan hatiku.
Tak kusangka, matanya langsung menembung mataku. Mawar seperti memandang aku yang telah mati. Untuk sementara, aku dan Mawar membeku dan waktu habis dimakan bisu. Aku merasa terdapat koneksi terselubung di antara kami. Dengan hening yang belum mati, kaki Mawar menapak maju. Jarak di antara kami semakin pendek, mendekat, merapat, melekat... dan menembus. Mawar melewatiku seperti asap.
Cermin di belakang diriku ternyata yang dituju Mawar. Noda dalam kaca membuatnya resah dan segera ingin membersihkannya seperti sediakala. Sejenak, Mawar merefleksikan wajahnya untuk membuktikan kejernihan cermin. Dia menatap matanya dalam cermin dan perlahan-lahan telapak tangan menyentuh cermin, sehingga tercipta potret dua orang wanita yang saling bersentuhan. Dari matanya, kutangkap hasrat yang menginginkan ketidaksendirian.
"Kau memberikannya darah setelah kau menyelesaikan Tak Berjiwa dan ketika kalian memutuskan untuk bersama-sama... jatuh," jelas Pemandu.
"Yah, aku ingat sekarang," kataku menyadari.
Aku dan Pemandu menemukan Mawar yang mengurungkan dirinya sendiri di dalam kamar. Ternoda jelita wajahnya oleh raut menduka. Pojok menjadi sandarannya saat rintik-rintik membasahi pipi merahnya. Bantal dirangkulnya sebagai teman sementara. Terungkaplah kesepian dalam lirih sedunya.
"Kenapa?" tanya Mawar. "Kenapa Rian belum kembali? Aku telah melakukan yang kau suruh, tetapi mengapa suamiku belum menelepon."
Tentu kata 'kau' bukan merujuk ke diriku atau Pemandu.
"Tidak. Tidak! Aku tidak akan meninggalkan rumah ini. Tidak, sampai Rian kembali pulang," tolak Mawar bangkit. "Aku akan menjaga istana ini sampai akhir hayatku sebetapapun kau merayuku, Luna. Rian telah mengorbankan banyak hal, dan aku tidak akan mengkhianatinya."
"Dengan siapa dia berbicara?" tanya Pemandu. "Luna?"
"Dia teman imajinasinya," jelasku.
"Kau benar. Aku harus memecahkannya," kata Mawar beranjak semangat. "Rian berkata aku boleh membuka toples pelangi di kala sedih melanda sangat."
Mawar membawa aku dan Pemandu ke ruang tamu di mana terdapat tanaman bonsai, kursi, meja, sofa, lampu meredup, dan sebuah toples kaca berisi kumpulan kertas berwarna-warni, menyerupai pelangi. Mawar membuka paksa toples renta itu, sehingga toples terlanting dan terurai langgas kertas-kertas berwarna di dalamnya.
Satu per satu Mawar pungut kertas itu, hingga tidak tersisa satu pun yang berserakan di lantai. Ketika lembaran kertas-kertas itu dibacanya, mentari cerah terbit di belahan bibir Mawar. Diksi-diksi sederhana yang tertulis di dalam kertas menenteramkan jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]
RomansaRian bunuh diri dan mendonorkan 6 organ tubuhnya: retina, ginjal, jantung, hati, kulit, dan paru-paru. Akan tetapi, kematian bukanlah kehampaan. Rian tersadar di dunia serba putih dan bertemu seorang remaja yang memandunya menuju dunia yang ditingg...