Itu adalah gelap yang menutup mata dan, untuk sejenak, membuatku berpikir aku buta. Kunci Pemandu membawaku ke bagian dalam sebuah van, dengan aku yang keluar dari pintu lemari yang berukuran 1 x 0,5 meter. Tak terduga, mobil melintasi polisi tidur dan guncangannya mengungkapkan sebuah karung hitam besar seukuran manusia yang terbujur kaku menyisip di samping lemari.
"Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu...," nyanyi lantang seoang pria yang mengendalikan setir mobil van. Intipku membuka jati diri suara sumbang tersebut, bahwa pintu kali ini membawaku ke Zakaria, sang penerima retinaku.
Aku tak sia-siakan waktu. Aku harus menemui Mawar untuk sekali lagi, untuknya tahu dan yakin bahwa aku telah tiada dan melanggar janji. Kusiapkan kunci, untukku segera melangkah pergi dari sini, tetapi kunci mengkhinati. Jalan yang tidak rata dan penuh gejolak memutuskan ikatan kunciku dengan jari. Kunci itu jatuh di dalam van dan bersembunyi.
Polisi tidur, sekali lagi, menerjang mobil ini. Aku melating, terlontar menembus hingga ke atas atap mobil van. Rimbun dedaunan rambutan tiba-tiba menyerbuku. Sesaat setelah menghembus nafas lega, tanpa peringatan, polisi tidur kedua menyerang. Gempurannya berhasil melambungkan tubuhku, menerbang tinggi, kemudian mendarat di atas aspal.
"Oh, tidak, kunciku!" panikku menyaksikan mobil van melambai-lambai dari kejauhan. "Tidak!!!!"
Singkat aku menyesali, lekas aku berlari. Aku manfaatkan kondisi mayaku ini dengan menembus segala pembatas dunia. Dinding, pintu, bahkan manusia kulewati seperti tidak ada apa-apa di sana. Seperti angin, lajuku tak terhentikan untuk mengejar mobil van yang semakin menjauh di depan.
"Adi, makannya yang pelan...," perintah seorang ibu rumah tangga di ruang makan bersama anak dan suaminya. "Jangan cepat-cepat."
Melaju aku melewati meja makan. Bubur di sendok Adi pun terhempas, dan aku meninggalkan Adi yang kecewa begitu saja. Selanjutnya, aku memasuki seuah rumah dengan ruang tamu yang cukup lebar. Di tempat itu, berdiri salah satu keajaiban dunia dari Prancis yang terbuat dari kartu remi.
"Akhirnya! Mahakarya tiada dua! Sebuah Menara Eiffel setinggi dua meter yang terbuat dari kartu selesai!" gembira seorang kakek tua menyelesaikan bangunannya. "Dengan ini, aku dapat menunjukkan kepada mereka siapa yang paling hebat!"
Aku menembus Menara Eiffel tersebut. Ketidakpedulianku menumbangkan bangunan rapuh itu seperti pohon. Sang arsitek pun meratap hampa saat bangunan yang susah payah didirikannya berceceran di lantai.
"Maaf, Kakek, saya terburu-buru!" bisikku dalam hati, melanjutkan pengejaran.
Aku menyusup ke sebuah rumah lagi, tetangga sang kakek pendiri 'Menara Eiffel'. Di gudang rumah itu, dengan tangga, seorang nenek tak bergigi berhasil menyemat kartu terakhir di puncak tertinggi Piramida yang seluruhnya tersusun dari kartu remi.
"Akhirnya! Mahakarya tiada dua! Sebuah Piramida setinggi lima meter yang terbuat dari kartu selesai!" teriak senang nenek itu. "Dengan ini, mereka akan diam seribu bahasa!"
Bangunan itu senasib dengan Menara Eiffel di rumah sebelah. Aku menyerobot, melewati begitu saja Piramida itu. Aku menyaksikan dengan berat hati saat Piramida luruh seperti angin topan baru melandanya. Semangat nenek tua yang tadinya membara-bara ikut runtuh bersama Piramida itu.
"Maafkan aku nenek!" teriakku tak mengerem kaki, menembus ke rumah selanjutnya.
Aku tidak terkejut. Rumah ketiga berpenghuni seorang arsitek tua, sama seperti rumah-rumah sebelumnya. Yang dibangun dari tetangga sebelah nenek-pembangun-Piramida ini adalah sebuah miniatur Monumen Nasional yang juga terbuat dari kartu remi.
"Akhirnya! Mahakarya tiada dua! Sebuah Monas setinggi sepuluh meter yang terbuat dari kartu selesai!" kata seorang kakek membusungkan dada; bangga dengan cipaannya yang mahaakbar. "Dengan ini, aku dapat mengalahkan mereka dalam memecahkan rekor bangunan tertinggi dari kartu yang dibuat oleh manusia di atas lima puluh tahun!"
Kencang aku melaju seperti peluru menembus Monas itu. Akan tetapi, tidak seperti bangunan-bangunan remi sebelumnya, bangunan megah itu tidak serapuh yang terlihat. Bukannya roboh berhamburan, Monas dengan gagahnya masih berdiri.
"Hah! Tidak seperti mereka yang payah! Aku, sang arsitek jenius, telah memperhitungkan segalanya! Di rumah yang luas ini, semua lubang angin telah kusumbat dengan kain basah dan segala tekanan angin, gravitasi, dan kelembapan telah aku kalkulasi," sombong kakek itu. "Jadi, meskipun ada entitas tidak terlihat yang bergerak bebas di luar eksistensi seperti hantu melewatinya, Monas ini tidak akan hancur!"
Derap kuhentikan sejenak untuk membuktikan fakta dari apa yang terucap oleh kakek itu. Dengan sengaja, aku menyentil bangunan itu. Ternyata lidahnya menari tanpa musik. Bangunan setinggi sepuluh meter itu runtuh seperti pondasinya adalah pasir. Kartu remi berhamburan bagai dedaunan di musim gugur. Di antara gemuruh runtuh Monas-nya, tangis kakek itu terdengar dengan lirihnya.
"Maafkan, aku, kakek," kataku segera melesat kembali.
Malam kian merambat, langkahku tak melambat. Kujumpai berbagai orang dari latar belakang berbeda: pengemis, konglomerat, hingga tunawisma. Semua dengan berbagai rahasia mereka. Akhirnya, aku sapa mobil van itu lagi. Posisiku di atas jalan tol, sementara mobil itu di jalan raya, di bawahku. Hal ini menguntungkanku untuk mengebut dan melompat terbang ke tujuan. Kakiku pun berhasil mendarat di atap mobil dan segera menyelam ke dalam mobil. Pencarianku atas kunci yang mampu mempertemukanku dengan istriku pun dimulai kembali.
"Di mana, yah?" introspeksi diriku yang telah menghilangkan kunci. Aku membungkuk, menyusuri tiap sudut. Mataku tidak kubiarkan lepas dari setiap gerakan-gerakan di dalam mobil yang melaju kencang ini.
"Cintaku bukan di atas kertas, cintaku getaran yang sama, tak perlu dipaksa, tak perlu dicari karena kuyakin ada jawabnya... hoo!" nyanyi lantang Zakaria membanting-banting setir. Dia hanyut terbawa arus lagu yang dibawakan Siti Nurhaliza itu, sehingga membutakannya dari rambu lalu lintas.
Zakaria melabuhkan mobilnya di Alfamart, sehingga memudahkanku mengeksplorasi untuk mencari kunci. Akhirnya, kunci Pemandu mengacungkan dirinya di antara kantung hitam berukuran manusia dan sudut kaki lemari. Aku pun tak lagi menyia-nyiakan tiap detik yang melaju tanpa henti. Pintu lemari dalam mobil van menjadi jalanku kembali ke penjelajahanku untuk menemui istriku. Sekali lagi, untuk kesekian kali, aku mengarungi dunia gelap yang tercipta setelah aku mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]
RomanceRian bunuh diri dan mendonorkan 6 organ tubuhnya: retina, ginjal, jantung, hati, kulit, dan paru-paru. Akan tetapi, kematian bukanlah kehampaan. Rian tersadar di dunia serba putih dan bertemu seorang remaja yang memandunya menuju dunia yang ditingg...