Bab 37: Pemandu

42 4 0
                                    

Dunia mengizinkanku hidup hanya sehirup. Aku ada hanya untuk ditiadakan. Dari sesingkat-singkatnya Tuhan meniupkan jiwa ke dalam ragaku, aku telah belajar dua hal yang paling bertolak belakang, tetapi hanya seperti dua sisi dalam koin yang sama: hidup dan mati. Kau pasti berpikir keduanya seperti hitam dan putih, baik dan buruk, perempuan dan laki-laki; keduanya tampak berlawanan satu sama lainnya. Pada kenyataannya, hidup dan mati, di antaranya terbentang gradasi. Aku menyebut area itu sebagai "abu-abu", posisi di antara dua kutub: hidup dan mati. Itu adalah area di mana seseorang hidup, tetapi tidak ingin hidup dan ketika mati, dia ingin hidup.

Kujumpai dia, seseorang yang berdiri di area "abu-abu". Ketika hidup, dia ingin mati, dan ketika mati, dia ingin hidup. Satu yang diharapkannya selalu berkebalikan dengan kondisi saat dia berharap. Namanya adalah Rian Sekarlangit.

Darinya, tidak hanya hidup dan mati yang kupelajari. Ada tiga tipe orang di dunia ini. Pertama, orang yang membanting tulang untuk masa depannya. Kedua, orang yang hidup hanya untuk hari ini. Dan terakhir, orang yang berusaha mengubah masa lalunya. Rian? Dia tergolong yang ketiga. Energinya terkerahkan untuk istrinya yang telah ditinggalkannya. Sia-sia, aku pikir, mengingat dirinya hanya sukma tak kasatmata.

Misiku adalah menemukan Rian, yang sekarang terjebak dalam pengejaran lentera fiktif dalam kegelapan abadi. Aku ingin mengulurkan tanganku, menuntunnya keluar dari lubang kesengsaraan, dan menyadarkannya bahwa penyesalannya tidak berarti apa-apa. Setiap pintu kubuka dengan harapan bersua dengannya sekali lagi.

Dan pada akhirnya, aku menemukan...dia, berdua. Rian dan istrinya di balik jeruji besi kantor polisi; terpenjara dalam ruang gelap yang jauh dari mentari. Dua insan ini sudah berbeda dunia; berbeda sisi koin, tetapi mereka merapat bagaikan tiada ruang pemisah setipis benang pun di antara keduanya. Rian menyandarkan punggungnya ke dinding, sementara istrinya meringkuk dengan hampir merebahkan kepalanya di paha Rian. Tampak keduanya saling menggenggam tangan, meskipun pada kenyataannya keduanya tak saling bersentuhan. Di salah satu isak tangisnya, sang istri mengungkapkan rindunya kepada jiwa yang merindunya jua. Mereka begitu dekat, tetapi begitu jauh. Aku menahan diriku untuk menyergap, tidak berniat membebaskan Rian, tetapi takut merusak momentum berharga keduanya.

"Di mana kau, Rian?" bisik istrinya tersedu-sedu. "Aku sendirian. Aku berharap kau menemaniku di sini, Rian."

"Aku selalu di sampingmu, Mawar," balas Rian mencoba mengelus rambut istrinya.

Aku menunggu dan menghirup gulana keduanya. Lelah tampak menjalar ke wajah istrinya yang telah berlumut duka. Sang istri dalam rebahannya memejamkan mata dan menggumamkan lagu Ketidaksempurnaan yang Sempurna, sementara Rian mencoba membendung derai air mata yang membisikkan sejuta kisah dia dan istrinya.

"Istirahatlah dengan tenang, Mawar," kata Rian mengecup kening istrinya.

Aku menerbitkan diriku di sudut mata Rian. Sebelum ini, kakinya pasti langsung berderap lari dariku, tetapi kini Rian tidak bergerak sedikit pun. Dia tampak... pasrah, rela terhadap apa pun yang terjadi kepadanya.

Kutembus jeruji seperti benda itu tidak ada di sana. Kemudian, berbasa-basi, "Apa kabar Rian? Apa kau baik-baik saja?" tatapannya hampa, sunyi yang diucapkannya. "Apa yang terjadi kepadanya?"

"Dia diculik oleh Zakaria. Indah di sana juga dan dibunuh oleh Zakaria" sedu Rian. "Aku membantu Mawar untuk membunuh dan lari dari Zakaria. Dia dapat melakukannya dan mempunyai kesempatan untuk kabur, tetapi dia mengalami trauma dan menjadi gila, lalu polisi datang menangkapnya...."

"Itu kisah yang mengenaskan," kataku menatap istrinya.

"Aku hanya ingin lebih lama bersama dengan Mawar."

"Tapi kau tidak bisa," kataku menolak permintaan Rian. "Aku mempunyai pekerjaan. Ayo, sekarang kita pergi ke tempat lain," rayuku lembut. "Di tempat ini, kau hanya akan menjadi lebih sedih dan menderita."

"Aku tetap di sini," kata Rian mengembalikan kunciku yang dicurinya dahulu. Terkejut. Aku merampasnya cepat-cepat agar dia tidak mengubah pikirannya.

"Ini, sungguh ironis," kekehku. "Pertama kau bunuh dirimu sendiri untuk meninggalkannya, sekarang kau malah tidak mau meninggalkannya. Tragis."

"Seperti yang kukatakan sebelumnya. Aku depresi karena penyakitku. Aku mempunyai kesempatan untuk bahagia dengan memiliki seorang anak, dan Mawar merebutnya dariku. Dia tidak tahu betapa berharganya Sair untukku. Namun, kini, aku menyadari sesuatu. Mawar juga menderita... merana. Iya, aku membencinya, tetapi aku mencintainya," kata Rian dari lubuk hatinya yang paling dasar. "Aku mencintainya lebih daripada aku membencinya."

"Kau tahu, segalanya yang di dunia memiliki sebab-akibat. Kita, manusia, memang bebas memilih jalan kita, pilihan kita, tetapi kita tidak akan pernah lepas dari konsekuensi dari pilihan kita sendiri. Lalat memilih hinggap di jaring laba-laba, dia dimakan. Induk rusa memilih minum di pinggir sungai, buaya melahap dirinya dan anak-anaknya mati kelaparan. Dan kau memilih kematian, istrimu menderita dan tersakiti," jelasku. "Kau lihat, segalanya memiliki pengaruh."

"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" tanya Rian.

"Jawaban sederhana dari pertanyaan 'apa arti hidupmu?'" jawabku. "Apa arti hidupmu, Rian?"

"Mawar pernah memberitahunya," kata Rian berkontemplasi. "Hidupku? Hidupku seperti hujan bagi Mawar. Dengan kehadiran sekuntum mawar, hujan memiliki tujuan, yaitu menghidupinya. Mawar itu pun akan kering tanpa hujan. Hujan dan mawar terikat, tak bisa dilepas. Hujan berarti untuk mawar dan mawar berarti untuk hujan."

"Akan tetapi, hujan berbeda, bukan? Hujan dapat bergerak sesuai kehendaknya, tidak terpaku tanah," kataku meneruskan analogi Rian. "Ketika hujan pergi, tentu mawar akan kering di tanah tandus tak bertuan."

"Aku malu mengakui ini, tetapi semua yang kau katakan tidak salah. Mawar tiada arti tanpa aku, begitu juga sebaliknya," balas Rian. "Kau tahu, aku telah menjadi mayat bertahun-tahun lalu, bukan karena bunuh diri, tetapi karena penyakitku ini. Suatu hari, aku bertemu Mawar di puncak gedung. Dia mengubah segalanya. Dari 7 benua, 193 negara, dan 7 miliar orang, dan Mawar memilihku. Ketika diriku tidak menghargai kehidupanku sendiri, Mawar menghargaiku. Dia menghidupkanku kembali. Semenjak itu, aku berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkannya," lanjut Rian termenung penuh penyesalan. "Namun, tak terelakkan, aku tidak mampu menepati janjiku. Aku gagal."

"Kau ingin melihat sesuatu?" tawarku mengulurkan tangan untuknya bangkit. "Bukan organ-organmu, tetapi sesuatu yang menarik."

"Melihat apa maksudmu?" tanya Rian ragu untuk meraih tanganku.

"Masa depanmu."

Keraguan mulai luruh dari matanya, dan terbit dari sana penasaran yang membara. Ulurku diambilnya dan dikatakan tak langsung dari wajah nestapanya keinginan untuk mengetahui apa yang tidak diketahuinya. Rian pun berdiri sebagai pria yang, lagi, membelakangi istrinya untuk sementara.

Ketika pintu kantor polisi terbuka untuk kami menjelajahi dimensi waktu yang lain, kutemukan hampa bertahta di matanya. Rian tampak seperti seorang raja yang baru kehilangan singgasananya. Segera kupegang erat tangan layunya dan memberikannya senyuman terbaikku. Kemudian, aku pertemukan dia dengan masa depannya dan membiarkannya menangkap esensi yang "seharusnya" terjadi.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang