Bab 3: Raga I

91 4 0
                                    

Dalam beberapa kasus, kadang kita harus membiarkan sesuatu yang buruk terjadi untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk terjadi. Setidaknya itu yang tidak dipikirkan seorang penyelam gua bernama David John Shaw setelah menjelajahi Lubang Bushman di Afrika Selatan dan menemukan Deon Dreyer yang telah menjadi mayat selama lebih dari 10 tahun. Pada 8 January 2005, David ingin membawa jenazah Deon kepada keluarganya, yang dia pikirkan adalah sesuatu yang baik. David pun menyelam dan merekam misi mulianya. Ditemukannya mayat Deon di kedalaman 270 meter. Ketika David menjamah tubuh Deon, tanpa diduga, jenazah yang belum pernah disentuh selama 10 tahun itu mengambang dan mengagetkan David. Tubuh Deon membusuk dan merapuh, sedikit saja senggolan bagian tubuhnya memisah. David kewalahan untuk mengembalikan mayat Deon, dan pada akhirnya, David ikut ke alam yang sama dengan Deon. David meninggal karena gangguan pernapasan akibat tekanan air gua yang tinggi. Beberapa hari kemudian, mayat David dan Deon, diselamatkan oleh rekan David. Tubuh Deon hampir tidak dapat dikenali, membangkai dan merana. Kondisi Deon begitu parah, sehingga tubuhnya, secara harfiah, berubah menjadi substansi seperti sabun. Setidaknya begitulah deskripsi mayat yang menyapaku ketika melewati kegelapan dalam pintu setelah berlama-lama dalam keputihan sejati.

Ini adalah ruang penyimpanan mayat. Hal ini terbukti dengan terpampang jelas di ujung ruangan sempit ini tulisan, "Kamar Jenazah". Bau busuk yang menyengat hidung menyambut kedatangan kami dari seberang keputihan. Tak hanya itu, keangkeran juga memberikan salam terdinginnya. Tergambar di tempat ini kemistisan terselubung, di antara mayat-mayat yang terbujur pucat di sana sini. Satu dari mereka masih terbuka mata dan mulutnya; tampak ketidaktenangan di wajah. Yang lain terlihat baru saja memasuki tahap rigor mortis.

"Sial!" jerit takut Pemandu. "Aku salah kunci!" katanya memilah-milah kunci. "Kita seharusnya tidak berada di sini!"

Aku tak berkata apa-apa, hanya menggeleng-gelengkan kepala ringan, menyeringai.

"Sudahlah," katanya menyeret tanganku lagi. "Kita sudah dekat. Jalan kaki juga bisa."

Remaja yang menyebut dirinya Pemandu ini menggiringku seperti domba. Ketidaktahuan apa yang sedang terjadi adalah tali yang mengikat di leherku. Kami lewat, menerobos, menyusup tanpa ada yang menegur. Sepertinya manusia tidak bisa melihat atau menyentuh kami yang berbeda alam. Segala benda pun tak bisa kugenggam; selalu tertembus bagai aku adalah angin kosong.

Aneh, sungguh aneh, aku mampu membedakan setiap wajah yang kujumpa, tidak ada semu, semua tidak serupa. Pemandangan yang kurindu semenjak prosopagnosia menerkam otakku. Inilah panorama terindah yang pernah terlintas di mata. Duniaku kembali berwarna dan cermin kembali menjadi teman terpercaya. Untuk sejenak, aku terpaku; terpesona atas pemandangan yang telah lama direnggut penyakitku ini.

Dihanyutkannya diriku kembali oleh Pemandu keliling rumah sakit, yang kuketahui dari sebagai Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih—istriku melahirkan di sini. Terombang-ambing tanpa kompas yang jelas. Tiada titik untuk berlabuh. Kami terus menelusuri kamar-kamar sampai akhirnya kami menambatkan diri di sebuah ruang operasi. Dan di sanalah, aku bertemu.... aku, atau lebih tepatnya tubuhku sendiri.

"Kau berwasiat untuk menyumbangkan organ-organ tubuhku kepada mereka yang membutuhkan," kata Pemandu.

"Aku tidak mengira akan berakhir seperti ini," kataku.

Ragaku terkapar pucat, tak berdaya kala dokter dan suster mengerubunginya. Aku menemukan potret ini mengenaskan. Ekspresiku begitu menyedihkan, tanpa senyum. Ragaku seperti menyesal atas apa yang telah menimpa dirinya.

Untuk sementara aku merasa canggung, kemudian simpati kepada diriku sendiri saat mereka tak ragu membelek dari bawah perutku ke atas hingga leher. Tidak ada darah yang tumpah. Sternum, tulang dadaku diretas dengan gergaji mesin kecil dan disanggah dengan retraktor agar tetap terdedah. Mereka berkolaborasi untuk merauk seluruh organ-organku bagaikan seonggok sapi di rumah jagal; menjarah penopang-penopang hidupku, hingga tersisa hanya hampa. Meskipun telah bercerai dengan ragaku, aku masih bisa merasakan sakit secara spiritual saat tubuhku dioperasi.

Enam organ dengan hati-hati ditidurkan dalam kotak es. Bagian tubuh itu adalah jantung, ginjal, retina, paru-paru, hati, dan kulit — seperti yang tersirat dalam surat wasiatku. Keenam-enamnya kemudian dibawa keluar dari ruang autopsi, sementara ragaku dirajut kembali dan ditinggalkan begitu saja membusuk dalam ruang autopsi.

"Kita tidak bisa mengikuti seluruh organ-organmu pergi," kata Pemandu. "Tidak juga bisa terus menetap di ruang mayat ini. Kita tidak mempunyai banyak waktu," katanya mencoba merenggut diriku dari ragaku.

"Apa maksudmu memperlihatkanku seperti ini?" tanyaku.

"Ikut denganku, aku akan menjelaskannya," kata Pemandu kembali menggiring aku yang dilanda tanda tanya ini.

Aku terbelenggu dalam bayangan gadis ini. Tidak ada alasan untuk tidak mengikutinya. Diantarkannya diriku ke Paviliun Arafah Bawah. Terbaring lemas di sana seorang kakek tua. Kata 'seram' langsung melintas di benak ketika bersua dengannya. Alisnya menjurang ke bawah, menggusar marah. Wajahnya belum sepenuhnya dikuasai keriput, tetapi rambutnya putih semua bagaikan salju di tanah barat. Matanya menikam setiap yang menatap seperti berkata, "Kau adalah segala kesalahan di dunia ini."

"Katakan kepadaku," kami menegak diri di hadapan tempat tidur kakek yang tidak bisa melihat kami ini, "apa sebenarnya arti hidupmu?" tanya Pemandu.

"Aku tak tahu apa maksudmu," kataku mencoba mencoba menerka ke mana arah pembicaraan. "Tapi seperti yang kau lihat, aku mempunyai kehidupan yang buruk."

"Orang di hadapan kita ini bernama Yusdi Rahap. Dia adalah penerima organ tubuhmu, jantung. Kau adalah orang yang menyelamatkannya dari...," katanya menilik chart­-nya yang tercantel di sebelah tempat tidur, "kar-dio-mio-pati di-la-ta-si, yah, kardiomiopati dilatasi."

Tidak berapa lama dua perawat dan satu dokter menghampiri kakek tua ini dan membawanya dengan kursi roda. Kami pun berakhir sebagai audien dari operasi jantung. Kakek Rahap adalah tokoh utama dari cahaya panggung. Alunan tangan dokter-dokter selaras satu sama lain, sehingga menciptakan simfoni operasi yang menawan hati. Permainan mereka begitu rapi dan mempesona hingga akhir. Semua lancar; tidak ada kendala.

"Wow, seluruh hidupku adalah kebohongan. Aku tidak pernah menyangka jantung berada di tengah-tengah dada dan hati tidak seperti yang dikirimkan para playboy dalam pesan singkat kepada kekasih-kekasihnya," kata Pemandu sesaat setelah keluar dari ruang operasi. Segera Pemandu menghadap pintu portir dan menyeleksi kunci-kuncinya, kemudian mengenalkan salah satu kunci tersebut dengan lubang kunci asing. "Pelajaran berakhir. Waktunya pergi!"

"Tunggu dulu, aku punya pertanyaan," kataku protes melihat Pemandu dapat menyentuh gagang pintu — tidak sepertiku yang bagaikan angin, tidak bisa menyentuh apa pun. "Bagaimana kita bisa menyentuh beberapa hal seperti pintu, tetapi benda lainnya tidak?!"

"Ada benda, hewan, bahkan manusia tertentu yang bisa menyentuh, mendengar, dan merasakan keberadaan kita. Jika kau berkonsentrasi, pasti bisa berinteraksi dengan dunia nyata," jelas Pemandu dengan lidah kilat. "Ayo, kita akan menemui penerima lain," katanya menembus kegelapan pintu yang dibukannya.

Lirih air mengalir terpancar dari balik pintu. Pertama menggoda telinga, kemudian merayu mata untuk melihatnya. Tertangkap imajinasi pemandangan pegunungan dengan air terjun di sebelahnya. Rumput-rumput bergoyang dengan rindangnya di bawah sejuk pepohonan. Burung, ikan, dan tupai berpadu dalam alam, mengukuhkan harmoni yang terahasia di belukar rimba.

Aku melintas hitam dengan mata terpejam.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang