Bab 1: Pikiran I

120 8 2
                                    


Itu adalah 15 Juli 1974 ketika Christine Chubbuck melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya reporter lakukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Itu adalah 15 Juli 1974 ketika Christine Chubbuck melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya reporter lakukan. Dia membawakan berita hangat dengan senyum dan antusias, sampai dia berkata, "In keeping with Channel 40's policy of bringing you the latest in blood and guts and in living colour, you are going to see another first – an attempted suicide." Wanita berumur 29 tahun itu pun kemudian mengeluarkan sebuah revolver, .38 S & W, dan melekatkannya di belakang telinga kanan. Dengan depresi sebagai pelaku utamanya, Christine Chubbuck meninggal pada malam harinya di Rumah Sakit Sarasota Memorial, dan menjadi orang pertama yang melakukan bunuh diri dalam siaran langsung televisi.

Bunuh diri menduduki urutan kedua untuk penyebab kematian di kalangan pemuda. Hampir 800,000 orang meninggal dengan bunuh diri di dunia setiap tahunnya. Itu sama saja dengan satu kematian setiap 40 detik. Di Indonesia sendiri, kasus bunuh diri terus meningkat setiap tahunnya. Dan pada tahun ini, aku ikut berpartisipasi dalam angka tersebut.

Namaku Rian sekarlangit – kalian mungkin tidak pernah mendengarnya. Kalimat ini menjawab pertanyaan siapa. Jawaban bagaimana dan apa jelas berada di prolog Tak Beraga. Untuk mengapa dan kapan...


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Benda itu datang dari Semarang, sebuah pemberian teman di hari pernikahan kami, sebuah cermin. Besarnya tak kurang dari ukuran sebuah pintu, 2 m x 1 m. Aku dan istriku setuju mendiamkannya di ruang tamu, di bawah tangga, mengarah pintu keluar. Aku tidak pernah mempercayai cermin itu. Dia selalu berbohong kepadaku; selalu merefleksikan kepalsuan dan selalu mengundang kesalahpahaman. Aku lebih mempercayakan tatanan rambut dan wajahku serta kepada satu-satunya perempuan yang mengerti aku, istriku, Mawar.

"Aku pikir murid-muridmu tidak akan peduli dengan seberapa berantakannya rambutmu," kata Mawar. Tangannya anggun berdansa di atas gelombang rambutku, memoles-moles wajahku seperti kolektor batu mulia dengan rubi-nya.

"Itu sebenarnya kata-kata yang cukup kasar darimu untukku," kataku.

Kaki Mawar mencoba selurus mungkin, mencoba menggapai puncak rambutku. Namun, perut bundar sembilan bulannya melarangnya melakukan itu. Aku pun berlutut bagai ksatria dengan Mawar sebagai ratunya.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang