Bab 34: Mawar V

36 4 0
                                    

"... sana?" tanyaku.

Ini adalah sekelam-kelamnya malam tanpa bintang, bulan, dan kasih sayang. Aku buta, diselimuti hanya kehitaman. Entah dari mana suara itu menggaduh di sisiku. Aku tidak menangkap adanya ancaman dengan hadirnya suara yang kukenal itu di ruang bawah tanah ini, malah aku merasa tenang, lega mengetahui ada orang lain di sini.

"Kau bisa mendengarku, Mawar?" tanya suara misterius itu.

"Iya, tapi siapa kau?" tanyaku curiga. "Aku tahu kau bukan dia."

"Tidak penting untuk sekarang," katanya tergesah-gesah. "Pertama-tama kau harus keluar dari tempat ini hidup-hidup. Lalu, aku akan menjelaskan siapa aku sebenarnya."

"Apa kau imajinasiku?" tanyaku lagi. "Isi hatiku?"

"Tidak...," sejenak jeda penuh ragu. "Iya, jika itu membuatmu tenang," katanya panik. "Aku akan membantumu melarikan diri."

Apa dia imajinasi? Ataukah ini salah satu permainan kebohongan yang dilakukan pikiranku? Suara ini, apakah aku bisa mempercayainya? Kebingungan menyiram nuraniku. Akhinya, aku memutuskan. Dalam kepasrahan, aku mempercayai suara yang berdiri menyerukan kebebasanku ini.

"Baiklah, sekarang berdiri... perlahan-lahan," perintah suara itu. Dalam pejamnya mata, kuturuti perkataannya. "Tangan dan kakimu terikat, tetapi kau masih bisa bergerak. Sekarang, berjalan ke... arah jam 11, tiga langkah besar atau enam langkah kecil."

Pandunya tak begitu jelas, membuatku tersandung kaki kursi.

"Tidak, tidak, tidak. Aduh, berdiri lagi," panik suara itu. Sejenak, sunyi melingkupi, lalu suara itu kembali lagi. "Aku baru saja dari kamar di lantai atas. Kau tidak percaya apa yang dilakukan Zakaria kepada Indah! Kau sebaiknya cepat!"

"Apa sekarang?" tanyaku yang sudah tegak dan tegar.

"Oke, di arah jam 10-mu terdapat obeng. Kau harus memposisikan dirimu di belakang obeng dan membuka ikatannya. Berjalanlah ke sana. Ingat tiga langkah besar saja," perintah suara itu tergesah-gesah. "Oh, tidak! Aku baru saja dari atas. Dia telah memukuli Indah sampai tidak bernafas! Sekarang dia sudah meninggal!"

Suara menuntunku tanpa sesuatu yang dapat kujadikan pegangan. Kadang salah, tetapi tidak pernah menyesatkan. Kurang lebih, aku seperti truk tanpa spion yang ingin keluar dari basement, dan suara itu adalah tukang parkirnya. Di bawah payung bimbingannya, aku meraih obeng yang tergeletak di meja dengan tanganku yang terikat di belakang pinggulku.

"Kau sebaiknya lebih cepat lagi," saran suara itu. "Zakaria berkata kau selanjutnya dan dia sedang bersiap ke sini."

Jemariku lihai mengurai tali rafia dengan obeng pipih, sehingga kedua tanganku dapat segera terlepas dari jeratan. Akhirnya, tak terbelenggu tali, manisnya kebebasan pun berhasil kucicipi lagi.

"Oh, tidak, kita kehabisan waktu. Sekarang, kembali ke kursi tadi. Berpura-puralah kau tidak lepas dari talimu," saran suara itu. Kulaksanakan perintahnya demi diriku benar-benar terbebas. "Tetaplah tenang dan tunggu aba-abaku...," bisiknya.

"Halo, mawarku yang cantik!" salam Zakaria mendobrak pintu ruang bawah tanah. Aku tidak dapat melihatnya, tetapi sepertinya dia menyeret sesuatu yang berat. "Sudah lama tidak bertemu. Kangen?" tanya Zakaria bercanda.

Aku mengelabui mata Zakaria dengan tetap duduk tenang, ketika di belakangku, tangan bebasku merencanakan kejutan untuknya. Aku hanya tinggal menunggu kesempatan untukku bertindak, dan membalikkan roda penyiksaan.

"Dia sudah tidak bernyawa," kata Zakaria membanting sesuatu yang diseretnya. "Kau tahu apa kata-kata terakhirnya? Dia berkata, 'tolong... akh... akh.... hahaha'," bahak Zakaria seperti memberitahuku sebuah lelucon sehari-hari. "Dia sudah tidak seru lagi. Sekarang giliran kamu, Mawar," ujarnya merapat, memelai, dan mengendus rambutku. "Kita bisa melakukan hal-hal baru. Membuat banyak anak dan tua bersama. Kita bisa bahagia bersama, seperti aku adalah suamimu."

"Sekarang!" teriak suara tadi.

Roda pun berputar. Aku menikam pundak Zakaria dengan obeng di tanganku. Tersenjatainya diriku membuat Zakaria mundur beberapa langkah. Dia mencoba merebut obengku, tetapi itu tidak semudah merebut permen dari bayi. Bertarunglah aku dengan Zakaria, antara predator dengan mangsanya.

"Ayo, Mawar, kau pasti bisa melawannya," teriak suara misterius yang memperjuangkan hidupku. Itu mungkin yang hanya bisa dia lakukan.

Sengitnya pergulatan aku dan Zakaria seperti dua babi di lumpur; itu kotor dan penuh dengan trik. Tercapailah puncak pertarungan dengan aku duduk di atas dada Zakaria dengan obeng yang siap mengakhiri segala. Tertahan laju obengku ke leher Zakaria oleh cengkeramannya. Akan tetapi, itu hanya harapan palsu baginya. Obeng menusuk di kerongkongan terdalam Zakaria.

Rem obengku telah rusak; aku tidak segera menghentikan penikaman dalam sekali tusuk. Kutubi-tubi Zakaria yang sudah tidak bernyawa. Merahnya darah menjadi sungai, meluas, dan perlahan-lahan menggumpal hitam. Untuk sesaat, aku kehilangan diriku.

"Sudah cukup, Mawar," kata suara itu. "Dia sudah tidak ada."

Aku merangkak mundur, menjauh dari mahakarya keji yang telah kuciptakan sendiri. Untuk kesekian kali, aku dipandu oleh sang suara menggapai Aqua di meja. Dengan kejernihan air tawar itu, kepedihan di mata lama kelamaan menghilang, begitu juga dengan pahlawan yang telah membimbingku selama ini. Suara itu sirna bersama bayangannya. Tidak ada di sana, tidak ada di sini, tidak di mana-mana. Suara itu benar-benar lenyap dari duniaku.

Aku dipertemukan kembali dengan mayat Zakaria. Aku tidak terperangah sedikit pun, tetapi tanganku tidak henti-hentinya berguncang. Perjumpaanku dengan mayat Indah menambah getarannya tidak hanya di tanganku, tetapi di sekujur tubuhku. Ini seperti terjadi gempa di setiap senti ototku. Tiba-tiba, lambungku menendang keluar semua makanan di dalamnya ke mulutku; aku muntah sehebat-hebatnya. Jiwaku mulai bergejolak tak beraturan. Terjadi pertengkaran antara kemarahan, ketakutan, kesedihan, dan emosi lainnya dalam diriku. Trauma ini benar-benar mengikisku.


Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang