Bab 25: Jiwa VIII

38 4 0
                                    

Ayahku merupakan seorang pengacara mahasibuk. Dia selalu tidak memiliki waktu untukku. Masalah-masalah terus kubuat untuk memancing perhatiannya. Namun, itu tidak bekerja dan pada akhirnya aku harus lari dari masalah-masalahku sendiri. Suatu hari, ayahku menolongku dari salah satu masalah, dan menasihatiku bahwa lari dari masalah tidak akan menyelesaikan apa pun.

Sepertinya, nasihat ayahku tidak berlaku di saat-saat seperti ini, yaitu di saat seorang remaja posesif mengejar dan berusaha mengunci dirinya dengan diriku. Aku harus memacu kaki dan tidak berhenti sampai kutemui pintu di dunia serba putih ini.

"Kembali, Rian! Oi, jangan lari!" teriak Pemandu dari kejauhan, sosoknya tak kutangkap dengan mata. Dunia serba putih tanpa dinding tak menyerap suaranya, sehingga suaranya mampu melabuh ke telingaku meski dari jarak berkilo-kilometer jauhnya.

Mataku menerawang sebuah pintu setelah lama berjumpa hanya dengan hampa. Jejakku tak berhenti dengan jemari sibuk memposisikan. Pintu itu hitam eksotis, tampak seperti terbuat dari kayu yang tidak murah. Akhirnya, untuk pertama kali, aku membuka pintuku sendiri.

Pemandu memunculkan dirinya dari balik horizon. Sosoknya tidak lebih dari sebesar semut karena jarak yang memisahkan kami. Dengan sekuat tenaga, remaja itu berteriak, "Rian! Kita bisa membicarakan ini! Jangan pergi sendiri! Tunggu!"

Dengan tidak mematuhi dan menjawab apa yang diperintahkan Pemandu mendemonstrasikan bahwa aku telah bebas dan tidak terikat oleh siapa pun. Aku pun melangkahi kegelapan di balik pintu untuk sekali lagi mengarungi dunia nyata di mana Mawar masih menungguku.

Tempat yang kusambangi teramat kelam. Satu-satunya penerangan di tempat ini adalah segaris cahaya vertikal di hadapan. Dari tempat ini, kutemui sapu, vacuum cleaner, dan kain pel; sepertinya ini adalah gudang. Sebelum memulai petualangan, aku mengganjal pintu yang menjadi mediumku menuju dunia kehidupan ini dengan sapu.

"Mah, Papa pergi ke persidangan dulu!" teriak seseorang yang tidak asing bagiku.

Aku mengintip dari celah pintu di depanku. Ternyata, pria yang berteriak itu adalah Hakim yang menyempatkan diri memanjakan burung beo sebelum dirinya berangkat. Sesaat setelah Hakim melangkah pergi dari rumah, tiba-tiba, pintu di belakangku — pintu yang mengantarkanku ke dunia nyata — terdobrak seperti terseruduk oleh seekor banteng marah.

"Keluar, keluar di mana pun kau berada!" teriak Pemandu berusaha membuka pintu yang kubarikade dengan sapu. "Ini pemandumu!" lanjut Pemandu dengan menyembulkan kepalanya di celah pintu yang ditembusnya.

Aku merangkak keluar dari gudang sebelum Pemandu menerobos pintu seutuh-utuhnya. Aku bagaikan tikus dengan Pemandu adalah kucingnya, sementara rumah megah nan luas milik Hakim ini adalah lahan kami bermain petak umpet. Cepatnya pengejaran Pemandu memaksaku untuk bersembunyi di antara perabotan rumah.

"Rian! Di mana kau?! Kembalikan kunciku! Aku tidak bisa bekerja tanpa kau dan kunci itu!" teriakan Pemandu mencariku.

Aku terdampar di ruang tamu. Di hadapanku, berdiri seekor burung beo hijau yang menatapku penasaran. Lantang beo itu bertanya, "Apa kabar? Apa kabar? Apa kabar?"

"Sssstttt," desisku mencoba membungkam kegaduhan burung itu.

"DIA DI SINI! DIA DI SINI! DIA DI SINI!" teriaknya kencang.

Pemandu segera menyambangi sumber suara itu, dan langsung menemukanku yang sempat berlari dari tempat persembunyianku. Gadis itu kewalahan untuk mencapaiku di ruang tamu. Berulang kali, Pemandu hampir menangkapku, berulang kali juga, beo mengejek, "Tidak kena! Tidak kena! Tidak kena!"

Keterjatuhan Pemandu di antara sofa mengizinkanku untuk membuka pintu ke dunia serba putih. Sekali lagi, Pemandu tertinggal oleh aku yang selangkah lebih jauh darinya. Salamku dengan dunia putih hanya sementara; aku langsung bersua dengan beragam pintu di depan mata.

"Ngik, hok, ngi, ngrok!" Dengkur Rizal langsung menyambutku di Polres Jakarta Utara. Bermimpi, dia tampak nyaman dengan lehernya diselimuti Majalah Gravity.

"Bukan tempat ini yang kuharapkan untuk aku datangi!" keluhku mendesis tidak ingin mengganggu kepulasannya.

Tak terduga, Pemandu menerkamku dari belakang. Hindarku terlambat, sehingga Pemandu langsung erat mencengkamku. Aku pun bergulat untuk terbebas dari jeratannya. Di hadapan Rizal yang tertidur nyenyak, aku dan Pemandu berguling-guling seraya menjerit, melengking.

Sekali lagi, aku terlepas dari kekangan Pemandu, dan menemukan pintu untukku melanjutkan pelarianku. Kali ini, bukan dunia serba putih yang kutemui, melainkan ruangan kelas penuh dengan murid berseragam merah-putih. Fokusnya perhatian ke papan tulis membuat mereka tak menyadari pintu lemari di belakang kelas terbuka sendiri. Satu-satunya orang yang menyaksikan pintu lemari terbuka karena aku adalah Subur.

"Sudah menulisnya?" tanya Subur. Dianggapnya keterbukaan pintu lemari hanyalah angin semata.

"Sudah, Pak!" jawab murid-murid.

Pemandu segera menyusulku. Tidak membuang-buang waktu, kulompati meja-meja mantan muridku yang mereka digunakan untuk mencatat buku. Pemandu pun mengikuti jejakku. Memang aku dan Pemandu dapat menembus segala, tetapi tembusan kami berefek seperti hembusan angin, sehingga buku, kertas, dan pencil yang kami lewati terjatuh dengan sendirinya dalam pandangan murid-muridku. Permainan 'tikus-kucing' sempat terjadi, dan menggaduhkan kelas karena benda-benda bergerak dengan sendirinya. Beberapa murid ketakutan, Subur sekeras mungkin meredam kepanikan.

Aku dan Pemandu melanjutkan kejar-kejaran kami di luar kelas, di mana aku melampaui kecepatan larinya. Dengan panik, aku menggunakan kunciku di lemari suatu kelas, di hadapan murid-murid yang sedang mencoba menyelesaikan soal penjumlahan yang tertulis di papan tulis. Namun, Pemandu menyusul dan berhasil merobohkanku serta menyeretku dari lemari sebelum aku menyeberang ke kegelapan di balik pintu.

"Akhirnya! Hahahahaha!" tawa jahat Pemandu seperti heyna yang akhirnya mendapatkan mangsanya. "Sekarang kembalikan kunciku!"

"Tidak!" tolakku mendekap erat kunci.

Aku merangkak menuju lemari. Satu jemariku berhasil menjamah pintu lemari, bahkan mendedahkannya lebar-lebar. Murid-murid dalam kelas pun terperanjat; terperangah dengan pintu lemari yang terbuka dengan sendirinya. Kegaduhan murid-murid ini menyebabkan Pemandu mengendurkan genggamannya, dan memberikanku kesempatan untuk melompat ke dalam lemari.

Aku mendarat di dalam toilet umum. Segera kulangkahkan kaki seribu tanpa menutup pintu. Aku terperangah, ketika keluar dari tempat pembuangan hajat, aku disambut oleh lautan manusia. Puluhan, bahkan, ratusan orang memenuhi mataku. Di tengah-tengah mereka semua, Monas meninggi dengan angkuhnya. Satu-satunya orang yang kukenali di antara pekatnya manusia adalah Indah, sang penerima kulitku, yang sedang diwawancarai salah satu stasiun televisi.

Aku berkamuflase di antara kerumunan seperti bunglon. Merendahkan kepala, beradaptasi dengan sekitar, lalu menghilang dari intaian mata tajam Pemandu. Kesempatan mempertemukanku lagi dengan sebuah pintu di dalam ramainya Monas.

Pintu mengantarkanku ke sebuah pantai, ke Hakim yang bertelanjang dada dengan santai. Tidak hanya panasnya matahari, Hakim juga diselimuti juga oleh para biduan cantik. Empat perempuan mencoba menghibur Hakim di bawah payung yang membayangi.

"Katanya ke persidangan!" bentakku kepada Hakim yang berbohong sebelumnya.

Aku pun mencari pintu... lagi. Aku tidak tahu harus berapa pintu lagi untuk menemui istriku. Sepuluh lagi? Seratus lagi? Seribu lagi? Aku tak peduli. Semangatku masih berkobar di dalam dada dan tidak ada tanda-tanda surut melemah.

Mawar, tunggu aku di sana.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang