Mati tak menjamin diriku terbebas dari dosa. Aku telah melihatnya cukup. Banyak sekali dosa-dosa yang tersebar karena organ-organ tubuhku, tak terhitung, lebih dari apa yang pernah kubayangkan. Kulitku yang menjadi wajah seorang model sombong. Kau tahu apa yang sanggup hakim—yang kudonorkan paru-paru—lakukan? Ketamakannya perlahan-lahan menghancurkan satu desa. Penerima jantungku? Kemarahannya membunuh mental orang-orang. Liverku, kemalasannya merugikan orang lain. Ginjalku, kerakusannya merusak edukasi murid-muridku. Darahku... dan darahku, satu yang tak pernah kusesali karena memberikannya. Ini untuk istriku, untuknya melanjutkan hidup di kala dulu terjerumus kelam. Terakhir, ada dia... penerima retinaku, Zakaria.
Kearbitreran kunci Pemandu memberikanku kesempatan untuk mengunjungi kediaman Zakaria sekali lagi. Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Ragam yang berbeda dari kunjunganku sebelumnya adalah potret Anggun yang tersebar di mana—termasuk mannequin—tergantikan oleh Indah.
Narasiku bersua rancu ketika melabuh di telingaku kegaduhan yang mengumbar nafsu. Aku tidak ingin tahu dan tidak ingin mencari tahu. Kuanggap ini adalah panorama tragis, di mana aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sebelum aku membuka pintu lagi dengan kunci Pemandu untuk berjumpa dengan Mawar semata, kakiku menangkap ketidakasingan dari secarih kertas, sebuah kertas biru, yang bertuliskan:
"Oh, Tuhan, dia di sini," sadarku membaca isi kertas biru.
Itu adalah satu dari puluhan kertas berisi kenangan aku dan istriku. Suatu kenangan ketika Mawar hilang di rumah nenekku dan berakhir di pedalaman pemukiman. Adalah suatu keberuntungan aku dapat menemukannya kembali dalam waktu singkat setelah tersesat 2 km dari rumah nenekku. Kenangan itu menjadi bukti bahwa kehadiranku di sisi Mawar merupakan suatu keharusan. Eksistensi kertas ini di sini membuktikan bahwa Mawar tidak jauh lagi, dan ini adalah pertualangan untuk menemukannya yang terakhir kali.
Tertunda sementara pencarianku terhadap Mawar karena desah penderitaan yang menggema di salah satu ruangan di rumah ini. Tersulut rasa penasaran dan dugaan mengerikan, kusambangi sumber suara. Ternyata, desah gelisah itu berasal dari terkatupnya mulut Indah. Perempuan malang itu menjadi salah satu korban kekejian Zakaria.
Burung merak-lah yang paling menggambarkan Indah saat ini. Karena keindahan dan daya tarik bulunya, Indah ditangkap oleh pemburu yang hanya ingin memilikinya. Kini, merak itu terpenjara kebebasannya; tak bebas melenggak-lenggok dan mengepakkan sayap. Hidupnya di lumpur, mematuk-matuk batu berharap cacing keluar dari sana. Indah sekarang bukan apa-apa kecuali untuk pertunjukan, sebuah hiburan bagi dia yang merantai kakinya.
Kulanjutkan eksplorasiku terhadap rumah penuh horor ini dengan penuh doa; dengan penuh harapan bertemu istri tidak dalam keadaan yang mengenaskan. Lantang aku serukan nama Mawar, meski tahu itu tidak akan melabuh di telinganya. Di sela-sela panggilanku, terdengarlah lantunan itu, sebuah lagu yang kurindu, Ketidaksempurnaan yang Sempurna
"Kemari, kau kemari. Temani 'ku yang sedang sendiri. Janganlah kau pergi. Jangan kau tinggalkan lagi. Dan membiarkanku dalam imajinasi," nyanyi Mawar.
Segera kutelusuri senandung lirih itu. Liriknya menghanyutkanku ke ruang bawah tanah, tempat di mana aku menyapa lima mannequin yang bukan lagi berwajahkan Anggun, melainkan Indah. Di samping mannequin itu, tempat ini sedikit berbeda dari tempat yang kukunjungi sebelumnya; lebih berantakan dengan perkakas dapur, kantor, dan montir bercampur baur.
Kandang anjing adalah sekotor-kotornya tempat bersemayam dan menggumamkan lagu. Dan di tempat itulah, aku, pada akhirnya, menemukan istriku, Mawar.
"Mawar...," kataku. "Mawar! Akhirnya...."
Matanya begitu hampa menata kekosongan, seolah-olah tidak ada harapan yang akan menjemputnya. Rautnya tak tentu dengan rambutnya tak selurus seperti yang terakhir kali aku menemuinya. Sungguh Mawar tertelan oleh keputusasaan.
Tidak membuang-buang waktu, kucoba membuka pintu kandang dengan kunci Pemandu. Kunci Pemandu selalu cocok dengan segala lubang kunci, bahkan dengan pintu kandang anjing ini.
"Jangan khawatir, aku membebaskanmu, Mawar. Aku akan mengeluarkanmu dari sini. Aku akan...," kataku berusaha keras memutar kunci, tetapi kunci itu menolak untuk berotasi. "Mengapa pintu biasa bisa kubuka, tetapi tidak dengan pintu ini?!" marahku membanting kunci.
"Rian... di mana kau?" tanya Mawar meringkuk, tersedu-sedu, menyudutkan dirinya di sisi kandang. "Aku ingin bertemu denganmu."
Memang sejatinya seorang suami menemani istri, tapi apalah daya dari seseorang yang telah mati. Kuselami dalam kandang untukku lebih dekat dengan Mawar, menemaninya melewati petaka ini.
"Hi, hi, hi. Aku di sini. Aku di sisimu," kataku menjamah wajahnya untuk menghapus air matanya, tetapi tak bisa.
"Mengapa kau meninggalkanku sendiri seperti ini? Aku bingung. Apa salahku?"
"Aku di sini, Mawar. Tolong. Tatap aku, dengarkan suaraku...," kataku menembusnya ketika mencoba merangkul kepalanya.
Tertadahlah tangan mungilnya. Akan Mawar berdoa. Tiada celah di antara jarinya dan tidak ada satu pun kata yang tumpah dari telapaknya.
"Tuhan tolonglah hamba-Mu melewati musibah ini. Tuhan, jika Engkau ada di atas sana, tolong kabulkan doa hamba-Mu. Satu inginku, Tuhan, satu. Hamba hanya ingin berjumpa dengan suami hama, Rian, untuk terakhir kali...," doa Mawar. Dipejamkannya mata dan diteruskan dalam hati.
"Tuhan, ini mungkin terlalu rakus untukku, tetapi aku juga mempunyai doa," kataku menadahkan tangan, sama seperti Mawar. Berdua kami berhadapan, memanjatkan doa. "Tolong, selamatkan istriku, tolong keluarkan dia dari sini. Tolong bebaskan istriku dari penungguan sia-sianya."
"Aku mencintai suamiku...," kata Mawar. "Dia adalah cintaku...," kataku. "Sampai akhir hayatku...," lanjut Mawar. "Untuk selamanya...," kataku. "Aku ingin penderitaannya berakhir... bahagia selalu," kataku dan Mawar berbarengan. "Amin," terucap akhir doa dan terusapnya wajah tak berjeda, tak berjarak, tak beda antara aku dan Mawar, meskipun kami dibatasi garis tipis yang disebut hidup dan mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]
RomanceRian bunuh diri dan mendonorkan 6 organ tubuhnya: retina, ginjal, jantung, hati, kulit, dan paru-paru. Akan tetapi, kematian bukanlah kehampaan. Rian tersadar di dunia serba putih dan bertemu seorang remaja yang memandunya menuju dunia yang ditingg...