"Waktumu sudah habis, Rian. Istrimu tidak akan pernah mendengarkanmu. Kita harus pergi ke organ yang lain," kata Pemandu yang mulai kebosanan menyaksikan diriku yang berusaha keras berbicara kepada Mawar. "Secara teknis, kau sudah tidak ada di dunia ini. Kau hanya angin lalu yang tidak bisa dirasakan orang-orang yang masih hidup."
"Tidak. Mawar pasti bisa mendengarku," yakinku menjawah wajah Mawar. "Mawar, ini aku Rian. Jika kau bisa mendengarku, tolong merespon."
Mawar hanya membisu. Seperti patung, dia membatu.
"Sudahlah, dia tidak akan mendengarmu. Dia tidak akan tahu keberadaan kita, seberapa pun kau menyentuhnya."
"Aku tak mau meninggalkannya," tatapku muram kepada Pemandu.
"Sungguh ironis. Pertama kau bunuh diri untuk meninggalkannya, sekarang kau malah tidak mau meninggalkannya. Tragis. Mengenaskan," kata Pemandu.
"Aku mengidap prosopagnosia yang membuatku sendirian dan stres. Istriku menggila dan membunuh anakku. Aku berpikir bahwa kehidupan aku dan istriku tidak akan lebih baik. Aku tidak akan lebih baik. Namun, kenyataannya adalah aku mencintainya lebih daripada aku membencinya."
"Oh, wow, kau menyesal?!" tanya Pemandu.
"Iya," kataku merunduk. "Dan aku mencoba... agar istriku, Mawar, tidak berakhir dengan nasib yang sama dengaku."
"Tapi, waktu habis!" kata Pemandu menyeretku menuju pintu menuju dunia serba putih. "Kita akan berjalan-jalan ke pemilik retinamu."
Borgol antara aku dan Pemandu masih mengikatku, dan membawaku tak tentu. Jejakku memang mengikuti Pemandu, tetapi hatiku masih merindu. Aku pun berpikir bahwa semua rencanaku untuk lebih lama bersama dengan istriku tidak akan berhasil selama Pemandu membelenggu. Oleh karena itu, di depan pintu menuju penerima organku yang lain, kakiku memaku; tak kubiarkan Pemandu melangkah lebih jauh.
"Mengapa kau berhenti?" tanya Pemandu. "Ayo, ikut denganku."
"Ini berakhir di sini!" teriakku menendang Pemandu dan segera menutup pintu. Pemandu langsung terpelanting ke sisi pintu yang lain, sementara aku di sisi yang berbeda dengannya. Kini, pembatas di antara kami adalah sebuah pintu dengan celah yang sedikit terbuka karena borgol yang masih menghubungkan kami.
"Ini kegilaan!" teriak Pemandu memalu pintu. "Jika kau terus melawan kau akan makan malam di neraka!"
"Ini... kebebasan... -ku!" balasku.
Aku menyadari bahwa kunci yang digunakan Pemandu untuk berteleportasi berada di sisiku, bukan sisi Pemandu. Benda itu tak jauh dari kakiku. Ingin aku mencapainya, tetapi perlawanan Pemandu membuatku kewalahan dan terjebak dalam pilihan: membarikade Pemandu atau mengambil kunci itu.
Bantingan dan dorongan silih beradegan dalam pergulatan ini, sehingga aku tidak sempat untuk berpikiran jernih. Akhirnya, pikiran pendekku menyuruhku untuk menciutkan tangan; merapatkan jari-jari agar lubang borgol tak mampu lagi menggenggam tanganku ini. Meskipun aku tidak lagi merasakan sakit, melepaskan borgol tanpa kunci membutuhkan perjuangan besar. Jerih payahku pun terbayarkan, tanganku berhasil meloloskan diri dari borgol Pemandu.
Dengan tidak ada lagi yang mengikatku dengan Pemandu, aku benar-benar menutup pintu yang membatasi kami; menceraikan antara aku dengan Pemandu. Remaja itu akhirnya menghilang dari pandanganku. Apa yang tersisa dari Pemandu adalah kuncinya yang sebelumnya terjatuh karena aku menendang Pemandu ke sisi lain pintu.
Sendirian, aku menapaki dunia serba putih ini lagi tanpa seorang pun pemandu. Yang menemaniku kini hanyalah kunci dari Pemandu dan tujuanku untuk bersua dengan istriku. Jalan panjang masih menantiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]
RomanceRian bunuh diri dan mendonorkan 6 organ tubuhnya: retina, ginjal, jantung, hati, kulit, dan paru-paru. Akan tetapi, kematian bukanlah kehampaan. Rian tersadar di dunia serba putih dan bertemu seorang remaja yang memandunya menuju dunia yang ditingg...