Bab 11: Retina I

54 5 3
                                    

Aku nanap, tenggelam dalam penyesalan karena salah satu organ tubuhku — paru-paruku — sedikit ikut berpartisipasi dalam tragedi ini. Kalut keruh pikiranku. Aku termangu sampai-sampai tak sadar Pemandu membuka pintu truk dan membawaku ke penerima selanjutnya, pemilik retinaku.

"Eh, tunggu dulu, kita seharusnya tidak di tempat ini lagi," kata Pemandu memilah lagi kunci-kuncinya. "Sepertinya kunci-kunci ini sudah rusak."

Kudapati sekelilingku tak mengumbar asing, segalanya kukenal. Tempat ini adalah studio foto tempat Indah bermodel ria, Diamond Picture. Tiada yang beda dari studio ini, kecuali gelap yang mulai menguasai setiap sudut studio. Di salah satu sudut, kami menjumpai Indah yang menggeram seperti beruang kelaparan.

"Berengsek sekali Anggun itu! Berani sekali melebamkan mataku!" marah Indah kepada cermin genggam di tengah keramaian kru.

Terbolak-balik Indah seperti setrika; ia tak nyaman dengan hiasan hitam di matanya. Toilet dan ruang ganti adalah rute perjalanan yang hanya digunakan Indah, dengan cermin dan bedak sebagai teman setia di setiap titik hentinya. Tebal, berlapis-lapis Indah bedaki setiap sisi muka, sehingga kelam luput dari matanya.

"Hei, kenapa kalian membereskan barang kalian?" tanya Indah kepada kru foto yang bersiap untuk pergi. "Saya belum difoto!"

Banyak tatapan yang menusuk Indah, tetapi tiada mulut yang membisikkan jawab. Seorang mentor yang sepertinya bertanggung jawab atas 'keterlupaan' ini pun menghampiri Indah, dan berkata, "Saat ini, kau belum pantas untuk menjadi model di Majalah Gravity. Wajahmu kurang menguntungkan. Bedak memang melakukan 'sesuatu', tetapi itu tidak cukup, malah menimbulkan kesan... apa sebutannya... ah, pelacur."

"Apa?! Lalu siapa yang menggantikanku di cover?!" tanya Indah kasar.

"Tentu saja Anggun," kata mentor itu.

"Ini adalah karmamu, Indah," kata Anggun menggenggam tangan mentor itu dan mulai bermesraan. "Jika saja kau tidak menyelipkan obat di minumanku, kau, setidak-tidaknya, mendapatkan tempat di halaman terakhir majalah."

Anggun dan mentor itu membelakangi Indah dan berangsur-angsur menepi dari pandangan berang Indah. Dibiarkannya Indah tenggelam dalam gelap dan kesalahannya sendiri.

"Sepertinya kita salah kunci," kata Pemandu mendelik kunci, lalu memasukkannya ke pintu yang bertanda 'khusus untuk model'. "Ayo, sekarang tidak mungkin salah," dijerumuskannya aku ke kelam, lagi, dan hanya untuk kembali lagi ke Diamond Picture, tempat yang belum berubah secara geografis.

"Kuncinya error," simpul Pemandu.

"Otakmu yang error," balasku. "Kita hanya kembali ke tempat tadi."

"Kita coba sekali lagi." Diutak-atik pintu serta kunci. Terus diulang, lagi, lagi, dan lagi, tetapi hanya tempat ini yang menyambut kami. Pintu lain dijajalnya, tetapi hasil tetaplah sama: ruang pemotretan Diamond Picture.

Pada uji coba ke-29, akhirnya, hasil berbeda menemui kami yang hampir putus asa. Pintu mengantarkan kami ke sebuah basement, ruang bawah tanah, tempat mobil dan motor bersemayam aman. Terdapat hanya seorang pria berkacamata hitam yang bersusah payah mengangkut meja ke mobilnya. Perban di tangan kanannya menghambat proses pemindahan meja ke dalam mobil van. Belum beberapa detik, Anggun, yang menyempatkan diri mampir ke basement, mengulurkan tangannya; menawari bantuan ke pria misterius tersebut.

"Sini biar saya bantu," kata Anggun memosisikan dirinya di depan meja yang mengarah ke dalam van.

"Terima kasih. Saya sangat menghargai bantuan Mbak," kata pria misterius itu mendorong, menjunjung mejanya tinggi. "Saya benar-benar merasa tertolong dengan Mbak," pria itu mendorong mejanya ke dalam van dengan Anggun ikut di dalamnya. Desakan meja memojokkan Anggun ke dalam van.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang