Bab 24: Mawar I

43 4 0
                                    

Michelangelo menatapku dari lukisannya: The Creation of Adam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Michelangelo menatapku dari lukisannya: The Creation of Adam. Dia membisikkanku makna di balik setiap coretan, gores, lukisannya. Dikatakannya bahwa Tuhan menciptakan Adam berdasarkan bayangan-Nya sendiri dan memberikannya secercah mujizat, yaitu akal. Sungguh ironi ketika kudapati The Creation of Adam, berdiri angkuh di lobi Rumah Sakit Jiwa Islam Klender, yaitu tempat di mana manusia seperti ditinggalkan oleh Tuhan hanya karena kehilangan akal sehatnya.

Aku dapat menonton Michelangelo dan lukisannya berjam-jam sampai dudukku berdebu. Sungguh mengesankan mendengarkan keluh-kesah Michelangelo tentang masa lalu, tentang kisahnya di Italia, tentang rivalnya Leonardo da Vinci.

"Ayo, maen, Mbak!" ajak seorang anak kecil. Dia menarik tanganku yang sedang menggenggam pensil untuk melukis mahakarya yang teraslinya berada di Kapel Sistine.

Gelenganku tak sanggup mengusir anak kecil yang berusia sekitar enam tahu itu. Dia malah menarik-narik paksa lenganku untuk bermain petak umpet dengannya. Aku tetap duduk memaku, tetapi dia mengemis dengan tatap rayu.

"Baiklah, tapi jangan sampai ketahuan penjaga, nanti kamu akan ditangkap dan akan bernasib sepertiku," kataku menjepit hidungnya.

"Oke, aku yang jaga sekarang."

Anak itu menghitung mundur mulai dari lima puluh dengan tangannya menyungkup mata, lalu membiarkanku mengendap-endap. Pada akhirnya, kusembunyikan diriku di balik pot raksasa RSJ. Mata anak itu mendelik tajam ke setiap sudut ruang untuk menemukanku, tetapi aku terus berpindah-pindah dari satu persembunyian ke persembunyian lain.

Sedang asik-asiknya berpetak umpet, tiba-tiba, seorang perawat pria menjamah pundakku. Kutemukan wajahnya diselimuti senyum yang bercampur gelisah. Dengan penuh kepolosan, perawat itu berkata, "Sudah main-mainnya. Waktunya tidur dan minum obat."

Seperti kambing, aku digiring ke kamarku. Untuk sampai ke sana, aku harus melewati lautan yang selalu ramai oleh ketidakwarasaan. Selalu ada satu atau dua pasien yang gaduh. Kali ini, terjumpa seorang perempuan paranoid yang meringkuk kengerian di antara pasien. Seorang perawat berusaha menenangkan, tapi perempuan itu malah melawannya. Pemberontakan perempuan itu semakin menjadi-jadi saat segerombol perawat lelaki mengerumuninya.

Kamar isolasi, kamar ini mengingatkanku dengan kamarku sebelum bertemu dengan suamiku, saat diriku masih SMA, saat pertama kali didiagnosis skizofrenia. Satu lemari, satu meja dan kursi, satu tempat tidur, dan satu kesendirian untuk diriku sendiri. Kamar ini terujung; jauh dari keramaian, dan tersejuk dengan jendelanya mengkiblat ke taman terdekat.

"Ada lagi yang kau butuhkan selain obat?" tawar perawat lekas menyodorkan obat-obatan dalam gelas plastik kecil. Mata pria itu memerintahkanku untuk segera meminumnya, menghabiskannya, agar dirinya segera menghabiskan waktu selain bersamaku.

"Gluk, gluk, gluk," minumku. Obat-obatan psikosis melewati kerongkonganku. "Tidak ada. Terima kasih."

Kepalaku terasa ringan, seperti yang mengisi kepalaku hanya kapas. Kantuk langsung menyelubung mata. Gemerlap dunia sirna begitu saja. Berat, lelap membungkam mataku dalam gelap. Tidak lama, tiba-tiba, aku dibangunkan oleh anak kecil yang sebelumnya bermain petak umpet denganku. Dia bersila di kakiku, meratapku gusar, dan mengeluh, "Yah, Mbak sudah mau tidur..."

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang