Bab 39: Paru-paru II

50 3 0
                                    

Pikiranku kosong; tak berisi kecuali gema penyesalan. Pandanganku membiru. Terdengar nada kehidupan yang merendah dan memutar perih, melambat, bagai musik pemakaman di pertengahan zaman. Semua samar, semua datar.

"Kapan penderitaan ini bisa...," bangkitku dari sujud. Aku dibuat terkejut oleh pemandangan teramat beda dari lima detik yang lalu. Aku dikhianati oleh penglihatanku. Apa yang jelas di hadapanku, bukan lagi pesawahan mempesona penuh padi dengan semerbak embun penghapus laranya, melainkan arena pengadilan dengan aroma penghakiman yang kental. Dedaunan dan semak-semak hijau menjela meja hijau yang di atasnya berdiri dengan angkuh palu hitam kayu. "Berakhir?"

"Saat tidak adanya alasan untuk menderita...," jawab Pemandu.

Aku langsung dipertemukan dengan keramaian ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Duduk dengan gelisah di sampingku kakak Mawar, Melati. Berjajar tak tentu orang-orang berwajah baru yang mengisi bangku-bangku kosong ruang sidang untuk menyaksikan pelaku dijatuhi hukuman yang setimpal. Di antara wajah-wajah tersebut, kujumpai wajah Kakek Rahap dengan raut muramnya.

Panggung penghakiman dimainkan oleh lima orang. Satu yang tak asing berperan sebagai antagonis adalah Hakim Adilah, penerima paru-paruku. Masih dengan tabung oksigen dan maskernya, Hakim berdiri sebagai hakim utama. Dia dan palu penghakimannya siap memvonis siapa saja.

Protagonis dalam panggung ini adalah istriku sendiri, Mawar. Pusat semuanya, dengan segala mata tertuju hanya kepadanya. Sendirian, tertengahi. Mawar seperti pasrah dengan apa pun putusan hakim yang dibacakan hari ini.

"Menimbang, bahwa Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) Mawar Meilani bin Irmanto Nomor 666.31/1/0287 tertanggal 30 Oktober 2015 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Yusdi Rahap, M.A. dan dr. Kartika Sari, Sp. KJ dokter pada Rumah Sakit Jiwa Islam Klender Jakarta menyatakan dengan kesimpulan," kata Hakim dengan lantang. "Pada observasi psikistri tanggal lima sampai dengan tanggal sembilan Oktober tahun dua ribu lima belas yang bersangkutan didapatkan tanda dan gejala gangguan jiwa berat. Perilaku pelanggaran hukum merupakan gejala atau bagian dari gangguan jiwa. Terperiksa tidak mampu memahami nilai dan resiko tindakannya. Terperiksa tidak mampu mengarahkan kemauan atau tujuan tindakannya. Terperiksa tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya. Menimbang, bahwa berdasarkan dasar hukum serta fakta hukum di atas Majelis Hakim menyimpulkan bahwa Terdakwa mengalami Skizofrenia atau kondisi gangguan kejiwaan berat, sehingga tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP."

Tertampaklah kelegaan di raut Mawar. Aku hanya menemukan hal ini aneh ketika penyakit yang berusaha disembuhkannya menyelamatkannya hari ini.

"Menimbang, bahwa dengan dimaafkannya perbuatan Terdakwa karena hukum menganggap terdakwa tidak memiliki kesalahan dalam melakukan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, maka dengan demikian terdakwa tidaklah patut lagi dijatuhi pidana," lanjut Hakim. "Menimbang, bahwa memeperhatikan saran sebagaimana termuat dalam Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) Mawar Meilani bin Irmanto Nomor 666.31/1/0287 tertanggal 30 Oktober 2015 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Yusdi Rahap, M.A. dan dr. Kartika Sari, Sp. KJ dokter pada Rumah Sakit Jiwa Islam Klender Jakarta yakni 'Tindakan melarikan diri dan penganiayaan kemungkinan terulang kembali, sehingga diperlukan penanganan (perhatian khusus) berupa pengobatan rutin dan pengawasan secara intensif dalam jangka panjang' dikaitkan dengan Pasal 44 ayat 2 KUHP serta Pasal 149 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, maka Majelis Hakim memerintahkan Terdakwa untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Islam Klender di Jakarta dalam waktu yang akan ditetapkan dalam amar putusan ini."

Kecerahan yang sebelumnya mewarnai wajah Mawar, kini kembali surut. Dia tahu bahwa dia akan kembali ke lingkaran rutinitas RSJ lebih lama lagi. Yang paling terburuk dari semua itu adalah dia akan segera dan pasti menerima cacian Kakek Rahap.

"Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, maka Majelis Hakim memerintahkan memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya seperti kondisi semula. Menimbang, oleh karena Terdakwa dalam tahanan sementara, maka Majelis Hakim memerintahkan supaya Terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangan status barang bukti berupa: 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru milik korban Sdr. Zakaria Abidin Muhammad, 1 (satu) potong baju dalam milik korban Sdr. Zakaria Abidin Muhammad, ceceran darah milik korban Sdr. Zakaria Abidin Muhammad yang sudah diambil dengan kapas, ceceran darah dan rambut milik tersangka Mawar Meilani yang sudah diambil dengan kapas, 1 (satu) tali rafia dengan panjang dua meter, dan 1 (satu) buah obeng yang terdapat bercak darah, oleh karena dalam persidangan barang bukti berupa obeng terbukti sebagai alat melakukan tindak pidana dan barang bukti lainnya sudah tidak dibutuhkan lagi, maka sudah sepatutnya barang bukti tersebut dirampas untuk dimusnahkan."

"Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa tidak dapat dipidana, maka berdasarkan Pasal 222 ayat (1) KUHAP, biaya perkara dibebankan kepada negara. Memperhatikan ketentuan Pasal 338 KUHP, Pasal 49 ayat (1) KUHP, Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP, serta pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang bersangkutan mengadili: satu, menyatakan Terdakwa Mawar Meilani bin Irmanto telah terbukti melakukan tindak pidana "Pembunuhan untuk membela diri", namun perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Terdakwa karena adanya alasan pembenar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan pemaaf sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (1) KUHP. Dua, melepaskan terdakwa Mawar Meilani bin Irmanto dari segala tuntutan hukum. Tiga, memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan. Empat, memerintahkan Penuntut Umum untuk menempatkan Terdakwa di Rumah Sakit Jiwa Islam Klender di Jakarta selama 1 (satu) tahun. Lima, memerintahkan memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya seperti kondisi semula. Enam, menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru milik korban Sdr. Zakaria Abidin Muhammad, 1 (satu) potong baju dalam milik korban Sdr. Zakaria Abidin Muhammad, ceceran darah milik korban Sdr. Zakaria Abidin Muhammad yang sudah diambil dengan kapas, ceceran darah dan rambut milik tersangka Mawar Meilani yang sudah diambil dengan kapas, 1 (satu) tali rafia dengan panjang dua meter, dan 1 (satu) buah obeng yang terdapat bercak darah dirampas untuk dimusnahkan. Tujuh, membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil. Demikianlah diputuskan pada hari ini," vonis Hakim menghantamkan palu.

"Kenapa harus berakhir seperti ini?" tanyaku tertunduk dengan mata berkaca-kaca.

"Menerima kematian adalah sesuatu yang hebat, tetapi menerima takdir yang sudah ditetapkan adalah tantangan terbesar," Pemandu Mawar kepadaku.

Lagi, halus tangan Pemandu membelai punggungku yang terbungkuk karena bertambahnya beban yang kutimang selama ini. Setiap elusan jemari mungilnya, setetes air mataku menghujani lantai bersih ruang sidang. Aku merapuh, angin kepedihan menghancur seutuh tubuhku, meninggalkan hanya jejak dan genangan penuh duka.

"Semua akan berakhir, segera, sebagaimana semestinya," kata Pemandu, "karena kematianmu adalah awal dari keakhirannya."

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang