Bab 5: Jantung I

66 4 0
                                    

Melewati pintu, menembus gelap. Aneh, tidak seperti balik pintu sebelumnya, kami berakhir di dalam lift bersama dengan seorang siswa SMA berseragam putih abu-abu. Pemikiran pertama yang terlintas saat mendengar kata 'anak SMA' adalah sosok intelektual muda, tetapi siswa ini sama sekali tidak menunjukkan kecerdasan melebihi dolpin. Rambutnya gondrong, kulitnya gersang, celana rombeng, dan beralaskan swallow. Tato hati bersayap dengan tulisan, "Arman cinta Lestari" menghiasi lengan kanannya. Tindik menodai telinga, bibir, dan hidungnya.

"Diakah?" tanyaku kepada Pemandu tentang pemilik jantungku.

Sebelum Pemandu menghirup udara untuk menjawab tanya, bunyi mengenaskan tak dikenal melabuh di telinga dengan embusan beraroma lancip menusuk hidung kami. Anak SMA ini membuang angin. Mungkin berpikiran bahwa hanya dia seorang dalam lift ini, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali dia mengentut. Bahkan, gas terakhir yang keluar dari anusnya bervolume tinggi dan panjang dengan aroma membusuk seperti telur busuk.

"Apakah dia baru saja memakan bangkai?" bentakku. "Dan kenapa, demi Tuhan, kita tidak bisa menyentuh apa pun kecuali kau dengan gagang pintu, tetapi kita dapat mencium bebauan seperti ini?!"

"Aroma berada di dimensi kelima. Substansi itu dapat melewati dunia kematian dan dunia kehidupan. Kau tahu, seperti aroma melati, saat kuntilanak muncul," jelas Pemandu menjepit hidung.

Bukannya menyumbat hidung seperti aku dan Pemandu, remaja ini malah membuka lubang hidungnya selebar-lebarnya, seolah-olah menikmatinya. Dihirupnya gas yang telah melintasi tinja nista dengan senang hati seperti membaui barbecue di musim semi.

"Kenapa? Kenapa harus begini lagi?" tanya Pemandu tersujud tak berdaya dengan tangan memukul-mukul lantai. "Apakah Engkau begitu membenciku?!"

"Bertahanlah, Pemandu. Bertahanlah sebentar lagi." Ironi aku memberikan semangat seperti itu ketika tubuhku sudah layu dengan bau yang mencekik paru-paru.

Ding! Tiba-tiba, terbuka pintu lift dengan seorang kakek tua melangkah masuk terburu. Kesempatan itu tidak kubuang sia-sia. Aku segera menerjang keluar lift. Namun, ketika aku mencoba memerdekakan diri dari bebauan bangkai ini, genggaman Pemandu merantai pergelangan tanganku.

"Jangan keluar! Dia orangnya!" kata Pemandu menunjuk dengan kedua bola matanya—kedua tangannya sibuk menyumbat hidung—kepada kakek tua yang baru saja memasuki lift tersebut.

Yusdi Rahap atau kami menyebutnya dengan Kakek Rahap. Beliau merupakan seorang psikiater lulusan Program Dokter Psikologi UI. Kira-kira umurnya 67 tahun dengan beberapa cucu yang siap untuk menikah. Ini bukan kali pertama kami berjumpa dengannya. Dia adalah penerima jantungku.

"Kalau mau kentut di tahan dulu, kenapa?!" bentak Kakek Rahap mengendus jejak-jejak gas beracun yang hampir membunuh kami. "Buta apa?! Ini di lift tahu! Di ruang tertutup! Dasar anak muda zaman sekarang tidak punya etika sama sekali! Sudah SMA atau masih SD, sih?!"

"SMA, Pak," jawab singkat remaja itu.

Sosok liberal yang sebelumnya dibusung-busungkan remaja itu kini dipendam dalam-dalam di balik malu. Lidah remaja itu terlipat, sehingga hanya sebatas kata yang mampu diucapkannya saat Kakek Rahap membantainya dengan kata-kata pedas. Takut, marah, dan malu teraduk-aduk dalam hatiya yang tercambuk-cambuk.

Mendarat di lantai satu, pintu lift pun terbuka. Dengan penuh kegeraman, Kakek Rahap mengambil langkah lebih awal dari remaja tersebut. Sebelum menapak lebih jauh lagi, Kakek Rahap menitipkan kata-kata tajamnya, "Berengsek, membuat saya kesal saja! Saya sudah terlambat, tahu!"

Itu hanya sebatas kentut, tetapi puluhan kata hina menghujaninya. Berlebihan? Aku rasa tidak. Ini hanya Kakek Rahap yang seperti terlahir dengan lidah setajam silet. Tidak hanya pada satu orang, Kakek Rahap juga tidak segan-segan menyayat hati-hati yang dilewatinya dengan kata-katanya yang menyembur begitu saja tanpa henti.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang