Bab 20: Darah III

44 4 0
                                    

Mawar bernyanyi di antara sepinya kamar yang terkunci

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mawar bernyanyi di antara sepinya kamar yang terkunci. Meskipun begitu, tembok tak mampu membendung suara merdunya untuk berkeliling rumah sakit jiwa. Di dalam kamar yang hanya 4 x 4 meter, Mawar bebas mengekspresikan dirinya, tetapi tidak sebebas di rumahnya. Kamarnya tidak seperti rumahnya. Di sini, hanya ada lemari, lampu, meja, tempat tidur, selimut, dan jendela berjeruji. Tidak ada gagang pintu di sisi pintu di dalam kamarnya, hanya ada lubang kunci beserta lubang kecil yang digunakan untuk membuka pintu dari dalam. Kamar itu adalah kamar isolasi, dan mantan penghuni sebelumnya yang melekat di ingatan adalah April.

"Aku sepertinya pernah mendengar lagu ini, tapi di mana yah?" tanya Pemandu tentang apa yang dilantunkan Mawar. "Aku lupa siapa yang mempopulerkannya."

"Lagu ini tidak terkenal, bahkan hanya segelintir orang yang tahu. Kau mengingatnya karena kau sudah mendengar lagu ini saat mengunjungi Dokter Rahap sebelumnya bersamaku," jelasku. "Ini adalah lagu yang Mawar ciptakan untukku. Dia menamakannya Ketidaksempurnaan yang Sempurna."

Mawar menyanyikan lagu hampir di setiap kesempatan. Mawar menganggap lagu itu dianggap sebagai obat mujarab atas penyakitnya. Bait-baitnya menyejukkan hatinya yang terbakar gelisah, dan iramanya mengusir kesendirian yang lama membelenggunya dalam kesepian sejati.

Dengan menyanyikan lagu, waktu cepat berlalu. Jam semakin kusam; berdebu dimakan waktu. Dilaluinya setiap sore menjumpai Kakek Rahap, dan di setiap sore itu juga terkena amarahnya. Mawar terus bertahan, tak tahu sampai kapan. Mawar menyadari bahwa satu-satunya cara untuk bebas dari belenggu neraka adalah dengan menjadi waras. Oleh karena itu, dia mengikuti segala aturan Kakek Rahap mulai dari rajin meminum obat sampai menghadiri pertemuan dengan Kakek Rahap tanpa terlambat.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Kakek Rahap kepada Mawar. "Apa masih mendengar atau melihat halusinasi?"

"Tidak. Saya sudah tidak melihat hal-hal itu lagi," kata Mawar memaksakan senyumnya. "Namun, suara-suara, saya masih mendengarnya, meski dengan volume yang lebih rendah dari sebelumnya."

"Bagus-bagus, itu perkembangan yang pesat. Tapi, tolong jawab pertanyaanku yang terakhir," kata Kakek Rahap mencatat kondisi Mawar. "Bagaimana keadaan suamimu?"

Sejenak, aku meratap beku; mengingat kelamnya masa lalu. Lalu, dengan penuh keyakinan, aku berkata, "Suamiku telah meninggal dunia. Dia tidak mungkin kembali lagi."

"Luar biasa!" gembira Kakek Rahap.

Dalam setiap pertemuan, Mawar selalu melaporkan hal yang sama, dan semenjak itu pertemuan dengan Kakek Rahap menjadi salah satu aktifitas yang tidak perlu ditakuti. Pada akhirnya, kepasrahan Mawar dengan apa yang ditetapkan Kakek Rahap dan RSJ membawa Mawar pada kebebasannya.

RSJ memerdekakan Mawar setelah tiga minggu—lebih lama daripada yang Mawar atau Melati kira. Tahap selanjutnya yang Mawar harus jalani adalah rawat jalan di mana Mawar harus menghadap Kakek Rahap setiap Jumat di Rumah Sakit Jiwa Islam Klender. Di samping itu, Mawar harus dengan rajinnya meminum obat-obatannya agar pikirannya tetap jernih.

Mawar mewaras perlahan-lahan, merasional. Aku bersyukur istriku tidak berhalusinasi lagi dan menerima bahwa aku benar-benar tidak akan kembali. Namun, yang kutemukan dari sosok Mawar yang sekarang bukanlah kebahagiaan atau ketenangan, melainkan kesedihan, kesendirian, dan... tangisan.

Pikiran rasionalnya menghayutkannya hanya kepada duka lara. Dia menyadari sesadar-sadarnya bahwa dia sendirian dan ditinggalkan. Seperti burung dalam sangkar yang terkatup kain, Mawar tidak bersenandung lagi. Dia bahkan belum mengucap satu pun kata pun semenjak keluar dari rumah sakit jiwa. Yang dilakukannya hanya termangu, meringkuk tersedu-sedu. Aku mulai khawatir dan tidak terkejut menjumpai Mawar di akhir hari dengan pisau dan es batu.

Tiba-tiba, ketukan pintu menyela isaknya. Sepi akhirnya dibunuh oleh seruan tamu.

"Ada keperluan apa, yah?" tanya Mawar menyambut tamu.

Yang menyalami rumah ini adalah seorang pria yang masuk ke dalam daftar hitamku. Dia bukanlah Kakek Rahap atau Melati, melainkan Subur Alam Syah, penggantiku sebagai guru, sang penerima ginjalku.

"Saya hanya ingin mengembalikan barang-barang Pak Rian yang tertinggal di sekolah," ujar Subur tanpa basa-basi. Terjinjing di tangan Subur sebuah kardus cokelat berukuran tidak lebih dari 40 x 20 sentimeter.

"Apa itu?" tanya Pemandu menunjuk sebuah swipoa yang tampak dari atas kardus.

"Sebelum kalkulator, orang-orang menggunakan benda itu untuk menghitung secara tepat. Swipoa bisa mengalikan, menambah, mengurangi," jelasku. "Benda itu seharusnya kuhadiahkan kepada murid yang mendapatkan peringkat tertinggi di akhir semester."

"Silakan masuk, Pak. Tidak enak mengobrol di luar," tawar Mawar.

"Maaf, Bu, saya harus pergi untuk menjenguk salah satu murid saya di rumah sakit," kata Subur menyerahkan kardus. "Terima kasih."

Tanpa mengucapkan salam, Subur segera membelakangi Mawar dan berjalan menghilang dari latar.

Tak Beraga: Kisahku dan Dia dan Sejuta Kata Cinta yang Dibungkam Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang