Namaku Felicya Meira Az-Zahra. Aku bisa dipanggil Felicya, Meira, atau Zahra. Tetapi, kebanyakan orang memanggilku dengan sebutan Icha. Iya, itu adalah panggilan kecilku yang masih berlaku hingga sekarang. Aku anak pertama dari pasangan Santi dan Denis. Mereka adalah ayah dan ibuku. Selain menjadi orangtua yang baik dan penyayang, mereka juga selalu mendengarkanku bercerita.
Dan sekarang aku adalah anak tunggal. Dulu, aku mempunyai seorang kakak perempuan namanya Fivi Alicya Zahra. Sekarang dia sudah berada di surga-Nya. Masa-masa kecilku sangat menyenangkan bersamanya. Hingga Tuhan menjemputnya lebih dulu dari kehidupan kami. Itulah masa lalu yang sangat berarti.
Dulu juga, sebelum ayah pergi ke negeri orang aku selalu mempunyai waktu banyak dengannya. Aku tidak tahu ayah bekerja sebagai apa di sana, yang aku tahu ayah bekerja untuk mencari uang. Dan umurku saat itu masih berusia 10 tahun dengan rambut lurus terurai dan jepitan-jepitan bunga menghiasi mahkotaku.
Hembusan udara pagi menembus pori-poriku. Aroma tanah yang bercampur dengan air hujan menyeruak-hal yang sangat aku sukai. Saat itu, ayah sedang membaca sebuah majalah di depan rumah. Ibu juga tidak lupa membawakan segelas kopi panas untuk ayah, hari ini adalah hari libur sang ayah bekerja.
Aku selalu senang ketika ayah cuti di hari-hari di mana aku ingin memanjakan diri dengannya. Saat itu, pagi itu, aku masih kecil-berumur 8 tahun kira-kira. Aku selalu menggunakan dress di bawah lutut dengan rambutku yang selalu terurai. Kata ibu, rambutku bagus.
Aku mendekati ayah, mengejutkannya dengan membawakan sepotong bunga mawar putih yang sengaja ibu petik untukku. Duri-duri di batangnya sudah ibu bersihkan, katanya supaya aku tidak terluka. Ah, ibu memang selalu terdepan. Ibu sangat menyukai bunga, jadi di halaman rumahku hampir seluruhnya adalah tanaman bunga.
Karena ibu menyukai bunga, kini aku pun mulai menyukainya. Bunga itu bagus, harum, dan sangat cocok untuk simbol bagi perempuan. “Dorrr!!!” bahkan suaraku yang masih cempreng begitu meledak di telinga ayah. Tapi, ayah tidak pernah memarahiku karena aku tahu kalau ayah itu sayang kepadaku. Bagaimanapun sikapku kepadanya, beliau selalu membuatku tersenyum tanpa bentakan sedikit pun.
Aku duduk di pangkuannya, saat itu ayah menurunkan majalahnya dan memelukku erat-erat. Sesekali ayah mencium pipiku yang katanya bikin gemes, iya begitulah anak kecil.
“Ayah! Ayah, aku mau jadi pilot!” ujarku padanya. Bunga mawar putih itu masih ku genggam erat-erat sambil sesekali aku goyangkan bersama dengan telapak tanganku.
Ayah tidak marah atau terkejut saat aku mengatakan cita-cita konyol itu, beliau hanya tersenyum dan mengusap halus puncak rambutku. “Kok, Icha mau jadi pilot?” tanya ayah setelah aku mengucapkan cita-citaku.
“Supaya bisa nganterin Ayah terus,” jawabku. Senyumku pun tak pernah pudar, selalu tertuju pada sang ayah. Kata ayah, gaya bicaraku sudah seperti orang dewasa saja-bermakna.
Ayah hanya memelukku erat dengan tawa di wajahnya. Aku selalu menyukai hal-hal yang dilakukan ayah kepadaku, saat beliau libur dan membawakan cerita setiap kali aku ingin tidur. Itu masa-masa yang sangat menyenangkan.“Woy, Cha!!!” Seseorang telah membuatku terkejut. Rasanya, tadi aku melamunkan ayah begitu larut sehingga aku lupa kalau sekarang sedang berada di dalam kelas.
“Ngelamunin apa sih, lo?” tanya Susi. Aku berusaha bersikap biasa-membenarkan helaian rambutku dan olesan-olesan make up tipisku.
“Jangan-jangan lo ngelamunin adik-adik kelas ganteng, ya?” Mia menimpali. Dia adalah teman organisasiku juga, sekaligus menjadi teman satu kelasku dengan Susi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Novela Juvenil"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...