Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Naufal datang bersama teman-teman nya. Dia duduk satu meja denganku juga Susi tanpa ragu. Hal tersebut justru membuat mata yang berada di sana memperhatikan kami; memperhatikan Naufal yang tengah bersama kami.
Aku kira dia hanya akan membawa satu teman, ternyata dia membawa dua teman, jadi total yang duduk satu meja denganku dan juga Susi ada lima orang termasuk aku.
“Kenalin nama gue Susiyana, kelas sebelas IPA 2 yang kelasnya di pojok sebelah kiri lantai dua.”
Susi mengulurkan tangannya seakan ingin berjabat tangan dengan kedua teman Naufal. Sedangkan aku hanya diam tak menghiraukan, aku hanya fokus pada makanan yang sudah di letakkan dengan rapi di atas meja.
“Nama saya Galih,” ucap salah satu temannya, ternyata namanya adalah Galih. Dia lumayan ganteng dan keren, satu sama lah dengan Naufal.
“Kalau saya Darent,” ucap temannya yang kedua. Mereka bertiga sama-sama ganteng dan keren, tapi aku tidak peduli dengan kelebihan mereka.
Susi tersenyum manis, “Namanya bagus-bagus ya, kayak Naufal.” pujinya.
Sesekali aku mencibir tak menentu mendengar percakapan mereka.
“Nama kakak yang itu siapa?” tanya Galih yang menunjuk ke arahku.
Aku mendongak, memandang mereka. “Oh, gue, Icha.” jawabku singkat dan jelas. Naufal hanya tersenyum saat aku memberitahukan namaku di depan teman-teman nya.
Susi menyenggol sikutku hingga saat aku ingin memakan batagor, tusukan garpu hampir meleset. “Jangan jutek dong, di depan cowok-cowok ganteng nih. Adik kelas kece,” ucapnya bisik-bisik.
Aku melirik Susi sekilas, kemudian tersenyum samar kepada mereka. “Lo kan enak pernah deket sama cogan di sekolah ini, sedangkan gue enggak!” bisiknya lagi.
“Cogan juga itu sahabat gue dari kecil,” Aku mulai menanggapi. Karena yang dimaksud Susi adalah Arkan, padahal aku dengan dia hanya sebatas sahabat saja.
Naufal terdengar berdeham saat aku dengan Susi saling berbisik. Akhirnya, aku dan Susi mulai memandang mereka lagi—menikmati makanan seperti biasa. “Makasih Kak, udah pesenin makanannya duluan.” ujar Naufal.
“Sama-sama, Naufal.” jawab Susi langsung.
Teman-temannya sudah mulai melahap makanan yang telah aku pesan dengan Susi. Aku pun begitu, berusaha makan dengan tenang seperti hari-hari biasanya.
“Kak Icha itu anggota OSIS ya, Kak?” tanya Darent tiba-tiba.
“Iyaa,” jawabku singkat.
“Saya mau daftar boleh nggak?”
“Jadi anggota OSIS juga?” Sejenak aku menghentikan makan supaya lebih enak saja menjawab pertanyaan Darent.
“Iya lah, Kak. Dulu di SMP juga, saya ikut OSIS dan berhasil jadi bagian dari mereka.”
“Jabatannya apa?”
“Alhamdulillah sih, saya jadi ketua OSIS.”
Aku tersenyum manis mendengar jawaban Darent. “Wahh, keren!” pujiku padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Novela Juvenil"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...