Siang ini aku pergi dengan Naufal untuk menepati janjiku yang akan menteraktir dia makan. Sebelum aku dengan Naufal, aku sempat bertemu dengan Arkan di koridor sekolah. Langsung ku abaikan saja perkataan dia, aku hanya mengatakan kalau aku ingin pergi dengan Naufal.
Dia percaya, dan sebelumnya aku mengambil sesuatu di lokerku. Seperti biasa, sesuatu itu pasti pemberian Naufal. Bukannya aku ge-er atau berharap kalau itu adalah pemberiannya Naufal, tapi dia sendiri yang mengakui semuanya. Iyaps, aku rasa sekarang aku akan menerima dia sebagai teman baruku yang sudah berhasil membuatku senang.
Tadinya, aku ingin mengajak Naufal makan Mie Goreng Sampoerna yang sering aku beli dengan Arkan. Tetapi aku urungkan niat itu, karena aku ingin membuat suasana yang berbeda ketika aku dengan Naufal. Hehe, aku ini memang aneh ya, terkadang manusia selucu itu. Percaya tidak percaya, kali ini aku melihat sosok Naufal yang sebenarnya meskipun tidak seluruhnya.
Sekarang aku makan di tempat yang Naufal mau. Baiklah, mungkin kali ini aku nurut dengan apa yang dia inginkan karena memang aku bukan tipe seseorang yang pilih-pilih. Naufal membawa aku ke tempat yang biasa dia tempati, katanya tempat ini adalah tempat favorite nya.
“Di pinggir jalan gini, lo bilang favorite?”
“Iya, Kak. Gimana menurut kakak, enak kan, tempatnya?” katanya.
“Enak sih, tapi kenapa harus di sini?”
“Keberatan?”
Aku langsung menggeleng cepat.
“Enggak.” ucapku. “Gue nggak keberatan kok, biasa aja. Lagian gue pernah kok, makan di tempat kayak gini.”“Oh, iya? Sama siapa?”
“Em.. Anu.. E.. An..” Ini benar-benar sial! Kok aku jadi gugup seperti itu sih, dengan Naufal. “Sama temen gue lah,” jawabku melawan rasa gugup.
Apakah manusia harus mempunyai perasaan gugup ketika dia dihadapkan pertanyaan macam itu, ya?
“Cokelat ini dari elo, ya?” ku bertanya padanya sembari mengeluarkan sebuah cokelat batang dari dalam ranselku.
“Suka?”
“Kok ngasihnya cokelat sih, bukan sandwich?”
“Kan kakak udah makan tadi, di kantin.”
Aku tertawa samar, “Iya sih, tapi kan, gue kira bakal ada sandwich lagi di loker.”
“Kalau aku kasih sandwich lagi, kakak suka?”
Aku mengangguk.
“Kalau aku kasih bunga mawar?”
Aku mengangguk.
“Pizza, Mie Ayam, Bakso, Siomay?”
Rasanya aku ingin tertawa mendengar Naufal mengatakan itu. Tapi, yang aku lakukan hanya mengangguk lagi.
“Semuanya?”
Lagi-lagi jawabanku hanya anggukan dan tersenyum kecil.
“Sama mamang-mamang yang jualannya?”
“Hahaha,” ujarku ketawa.
“Kalau aku?” katanya tiba-tiba, setelah aku berhenti dari tawaku. Aku juga lihat tadi dia sempat tertawa juga bersamaku.
“Kalau lo yang ada di loker, gue pasti ketawa lebih keras dari ini.”
“Kok gitu?”
“Karena lo nggak bakal muat dimasukin ke dalam loker!”
Aku tertawa lagi. Entah apa yang lucu, rasanya aku tengah menertawakan sesuatu. Tapi setelah aku melihat ke arah Naufal, dia hanya terdiam memandangku yang sedari tadi tertawa. Akhirnya, tawaku lenyap dalam kejapan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Novela Juvenil"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...