09. Sahabatku

357 101 29
                                    

     Sesampainya di puncak, tepatnya di daerah Bogor, aku dan Arkan menyimpan barang-barang dan istirahat sejenak di salah satu Villa di sana. Dulu, aku juga sering ke Villa ini bersama ibu dan ayah ketika liburan tiba. Udara sejuk ditambah dengan indahnya pemandangan membuatku betah berlama-lama di sini.

     Jika dibandingkan dengan Kota Jakarta, maka aku lebih memilih tempat ini sebagai favorite ku dan juga Kota Bandung, dimana Arkan dilahirkan di sana. Bandung itu menyenangkan, apa lagi ketika Arkan membawaku berlarian menelusuri kebun teh dan menaiki perahu di suatu danau.

     Dia juga pernah bilang, “Aku suka main ke sini kalau dimarahin sama Mama dan Papa ku.” katanya suatu hari. Iya, kira-kira masih SMP Arkan menggunakan kata 'aku-kamu' sebelum akhirnya dia bergaul dengan anak-anak Jakarta, yang sekarang lebih terbiasa menggunakan kata 'elo-gue' sampai sekarang.

    Aku juga jadi terbawa suasana pergaulan ala anak Ibu Kota, yang terkenal sebagai pusatnya Indonesia. Sebenarnya, Arkan itu asik. Dia selalu membuatku jengkel karena kejahilannya, tetapi tetap saja, dia selalu bisa membuatku tersenyum.

     Aku sudah menganggapnya lebih dari seorang sahabat—sudah seperti saudara kandungku sendiri. Mama Papa nya yang selalu sibuk akan pekerjaannya membuat Arkan lebih sering menghabiskan waktu bersamaku dan juga keluargaku; sebelum ayah pergi meninggalkanku dan ibu ke Singapura.

     Arkan itu baik. Dia tampan, pintar, dan jago bermain basket. Meskipun aku tidak menyukai basket, namun aku tetap menghargai hobi Arkan dan semua penghargaan yang pernah dia raih melalui basket.

     Dia itu idolanya para PPCG, atau Perempuan Pemburu Cowok Ganteng. Aku rasa para perempuan itu tidak buta dan salah sasaran, Arkan memang cocok menjadi buruan. Dan di SMA 712 yang sekarang, predikatnya sebagai buruan telah tersaingi setelah kedatangan Naufal di sekolah.

     Aku tidak tahu kalau Naufal bisa menjadi idolanya para PPCG juga seperti Arkan. Tapi kata Mia, Naufal itu pintarnya kelewatan habis. Dia memang tidak jago bermain basket seperti Arkan, namun dia lebih jago dibidang akademik dan mempunyai bakat dalam bidang bela diri.

Dia itu memiliki banyak prestasi melalui Pencak Silat semenjak memasuki SMP di daerah Jakarta Selatan.

Semua gosip yang tersebar itu karena adanya stalker dan kecintaannya yang luar biasa pada sosok yang dibanggakan. Aku tidak suka menyandang gosip-gosip di sekolah, tugasku hanya belajar dan membuat karya semampuku.

    Walaupun banyak yang menganggap kalau Arkan itu sempurna, dia tetap rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Iya, kecuali kalau ada yang membuatnya marah. Arkan itu emosional, gampang sekali untuk marah. Meskipun marahnya tidak pernah bertahan lama, tetap saja dia itu si pemarah.

Hingga saat ini pula dia tidak merangkul satu perempuan pun di sekolah. Tidak ada yang dia jadikan sebagai pacarnya, padahal banyak yang menyukainya.

“Gue nggak mau punya pacar.” ucapnya suatu hari. Aku hanya tersenyum dan mendukungnya saja, karena memang aku pun tidak memiliki pacar.

     Gosip terpanas juga pernah menyergapku dengan Arkan. Banyak yang mengira kalau Arkan berpacaran denganku, padahal pada kenyataannya tidak sama sekali. Setelah semua gosip itu berakhir, akhirnya posisiku menjadi aman kembali. Dan... Aku tidak ingin kedatangan Naufal di sekolahku menjadi sebuah bencana besar dalam hidupku. Semoga.

“Yaps! Latte hangat kesukaan Caca,” sahut Arkan. Dia meletakkan gelas itu disampingku, kemudian dia duduk disebelahku.

Aku tersenyum semringah melihat Arkan membawakan minuman kesukaanku. “Makasih, Kakak Arkan.” ucapku padanya. Dia membuka jaketnya, meminum minumannya sedikit demi sedikit karena panas.

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang