26. Topeng Kaca

125 14 1
                                    

---0---

Suasana lapangan yang sangat ramai membuatku sulit untuk berjalan dan menelusuri sekitarnya. Aku hanya ingin mencari Susi untuk menyampaikan pesan dari petugas perpustakaan tentang batas waktu peminjaman buku yang belum sempat dia kembalikan. Sesaat setelah aku menemukan Susi di kerumunan orang banyak, aku menemukan Naufal diujung sana.

Lagi, lagi dan lagi. Aku menemukan Seli tepat di sebelahnya. Aku tidak ingin cemburu. Sungguh, yang aku inginkan saat itu adalah Naufal melihatku dan dia berjalan ke arahku seperti yang selalu dia lakukan setiap hari. Aku sadar kalau aku sudah bersikap berlebihan terhadap laki-laki itu. Tapi, beberapa detik setelah aku memandangi mereka, kulihat Naufal berjalan cepat ke arahku.

Aku hanya terdiam mematung di tempat itu. Aku ingin memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Kini, Naufal yang selama ini aku pikirkan sudah berdiri tegak dihadapanku dengan tatapan khasnya.

“Pagi, Kak.” sapanya tanpa mengurangi senyum manisnya.

Aku pun ingin mengucapkan selamat pagi kepada Naufal dengan memperlihatkan senyumku. Tapi hari itu, aku tidak bisa tersenyum bahkan menjawab sapaannya. Aku hanya memandangnya cukup lama hingga senyumnya pun memudar.

Aku tersadar. Naufal sedaritadi berdiri di hadapanku menatap heran. Dia berulangkali menanyakan mengapa aku terdiam saat dia menyapa. Aku tak kunjung menjawab. Biarkan. Aku ingin dia tahu kalau aku tidak suka dia dekat dengan Seli. Meski dia bukan pacarku tetapi semua yang dia lakukan seakan membuatku menaruh harapan lebih.

“Aku gak suka kamu sama dia!” tegasku dengan nada menekan setelah beberapa menit terdiam.

Saat aku mengatakan itu kepadanya, aku segera pergi untuk lebih menegaskan lagi bahwa aku benar-benar tidak menyukainya jika masih dekat dengan Seli. Saat itu aku berharap Naufal mengejarku dan mengatakan bahwa dia tidak akan dekat-dekat lagi dengan Seli, namun harapan itu hanyalah khayalan kosong. Naufal tidak mengejarku. Dia kembali ke arah Seli tanpa merasa bersalah padaku.

Rasanya aku ingin berteriak dan mengatakan kalau aku benci dia. Aku benci dia yang berubah semenjak kedatangan murid baru itu. Aku benci dia yang berubah. Aku benci Naufal yang sekarang!

“Lo cemburu?” ucap seseorang dari belakangku.

Aku menghapus semua rasa sedih diwajahku, aku menengok dia yang ada dibelakangku. Saat itu aku tidak menjawabnya, aku hanya diam seribu bahasa.

“Cemburu sama anak bawang itu?” ku jawab dengan santai.

“Anak bawang?”

Aku rasa dia bingung saat aku mengatakan kalau Naufal itu anak bawang, padahal aku tidak ingin mengatakannya.

“Lo suka kan sama dia?” tanyaku padanya.

Dia tertawa.

“Ini sama sekali nggak lucu, Sel.”

Seli mendekatiku, dia menatapku dengan tajam.

“Jadi lo beneran cemburu sama gue?” Lagi, dia menatapku bagaikan orang bodoh.

Malas sekali menjawab setiap pertanyaannya yang membuatku kesal. Dia seakan menganggapku benar-benar cemburu padanya. Aku melangkah cepat meninggalkan Seli disana, kukira dia tidak akan mengejarku. Tetapi apa yang dia lakukan seakan benar-benar membuatku marah.

Dia menghalangiku jalan; tepat berdiri dihadapanku dengan tangannya yang dia lipat persis diperutnya. “Gue kira kenal sama lo tuh asik, ternyata enggak!” katanya dengan nada menekan.

“Dan gue kira lo bakal bantu gue deket sama Naufal, ternyata lo sendiri suka sama dia.”

Aku hanya diam menunduk. Rasanya aku ingin melawan setiap ucapannya itu, namun itu bukan aku. Kemarahanku bisa saja kian meningkat jika dia terus mengeluarkan kata-kata yang membuatku semakin panas. Aku tidam boleh emosi hanya karena masalah seperti ini.

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang