Sore ini aku pulang, aku masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan, mungkin karena lelah ketika harus menginap di puncak kemarin bersama Arkan. Walaupun sebenarnya aku ingin lebih lama berdiam diri di sana, namun kewajibanku harus tetap berjalan dengan sesuai.
Aku masuk ke dalam rumah yang sepertinya sepi, tidak ada sahutan ibu ataupun Bi Iyah dari dalam. Sudah beberapa kali aku memanggil dan mengucapkan salam saat masuk, namun tetap tidak ada jawaban dari mereka.
Tubuhku yang lelah membuatku terus berjalan menuju kamar untuk membereskan barang-barang dan segera berisitirahat dengan tenang. Tidak masalah kalau rumah sepi akan penghuni lainnya, yang terpenting ada aku yang siap berdiam diri di sini.
Tapi rasanya ada yang mengganjal, aku mendengar suara orang di belakang rumah—seperti seseorang yang tengah mengobrol. Aku meletakkan ransel di dalam kamar dan pergi menuju belakang rumah.
“Eeh,” Aku terkejut melihat Bi Iyah yang tengah memasak di dapur. “Icha kira di rumah nggak ada orang. Ternyata ada Bi Iyah toh, nggak jawab salamku juga.” kataku.
Bi Iyah tertawa samar melihatku. “Iya maaf, Neng Icha. Tadinya Bibi mau masak bareng sama Bu Santi, tapi tiba-tiba ada tamu dateng. Jadi, Bibi yang masak sendirian di sini.” jawab Bi Iyah.
“Lho, kalau ada tamu ya di ruang tamu bakal ada orang dong? Tapi ini sepi banget kayak kuburan,”
“Tamunya di ajak sama Bu Santi ke belakang rumah, Neng.”
“Emang siapa Bi, tamu yang dateng?”
“Laki-laki Neng, cakep.” jawab Bi Iyah sembari mengacungkan jempolnya.
Aku tertawa, “Kalau laki-laki cantik dunia bisa kiamat, Bi.”
“Iya pokoknya mantul deh, Neng.” kata Bi Iyah tertawa. Aku juga.
“Ya udah. Icha ke belakang ya, Bi?”
“Mangga, Neng.”
Aku pergi ke belakang untuk memastikan siapa laki-laki yang Bi Iyah maksud. Lagian ibu tumben sekali mengajak tamu ke belakang, biasanya hanya orang-orang yang sering datang saja, karena kebetulan di belakang rumahku terdapat taman bunga yang sengaja ibu dan aku buat. Kami sama-sama pecinta bunga, apa lagi bunga mawar.
“Kak Icha,” sahut seseorang yang tengah duduk berdua dengan ibuku.
Akhirnya, ibu juga menolehkan wajahnya untuk melihatku. Ternyata laki-laki itu adalah Naufal, si adik kelas yang katanya mulai nge-hits di SMA 712.
Ngapain sih, pake acara ngobrol sama Ibu segala! Batinku seakan berkomentar kesal. Aku masih terdiam, tidak menyahut panggilan Naufal. Tanpa berlama-lama aku berjalan dan mulai duduk bersama mereka, ibu juga terlihat lebih senang kalau aku duduk di tempat itu dengan Naufal.
“Kok lo ada di sini?” tanyaku pada Naufal. Mungkin terlihat to the point dan pertanyaanku terlihat ketus. Baiklah, tidak apa-apa, aku rasa dia bisa memaklumi dan menerimanya.
“Jangan gitu dong, dia ini kan mau ketemu sama kamu.” sahut ibu.
Lagi-lagi dia tersenyum, hal itu membuatku semakin tidak enak hati untuk bersikap judes kepadanya. "Hm, iya maaf." ucapku.
“Maksud Icha, Naufal ngapain ke sini?” ku ulang bertanya.
Ibu berdiri untuk pergi meninggalkan kita berdua di taman ini. “Kalian ngobrol-ngobrol aja ya, soalnya Ibu mau masak sama Bi Iyah. Nanti kita makan bersama, ya?” kata ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Fiksi Remaja"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...