Aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Pulang sekolah adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu. Beberapa menit kemudian, aku beranjak dari tempat tidur untuk mengambil ranselku. Setiap pulang sekolah aku langsung mengganti pakaian dan membaringkan tubuhku di atas tempat tidur yang sudah menjadi tempat ternyamanku.
Aku mengambil secarik kertas yang aku dapatkan dari kotak makan yang ada di lokerku, mengeluarkannya dari dalam ransel. Aku juga tidak lupa untuk mengambil cokelat yang Naufal berikan. Walaupun dia tidak mengatakan kalau cokelat itu darinya.
Aku percaya ini dari Naufal. Ternyata kertas itu terlipat dan ada tulisan yang lebih panjang dari kata “Selamat makan, Felicya” Aku segera mengambilnya dan membuka nya dengan cepat. Penasaran saja siapa pengirimnya.
Selamat pagi, Felicya.
Aku sengaja membuatkan dua buah roti sandwich cokelat ke dalam kotak ini untuk kamu. Kalau kamu suka, makan sampai habis ya.
Aku tersenyum membaca tulisannya. Kemudian, aku kembali berpikir siapa pengirimnya. Tulisannya terasa tidak asing dimataku, tetapi itu tidaklah penting.
“Terima kasih, aku suka makanan yang kamu buat.” Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa mengatakan itu. Refleks, ada sesuatu yang membuatku terdorong mengatakan itu. Dan dalam tulisannya tidak tertera nama si pengirim.
Aku pun meraih cokelat dan bunga kertas yang Naufal berikan. Hhh! Hanya bunga kertas dan cokelat saja sih, itupun diberikan oleh seseorang yang namanya kian melesat tinggi di sekolah. Naufal Maulabi, apa dia juga yang mengirimkan sarapan pagi itu?
Tersadar. Aku menampar kedua pipiku, berulangkali tak ingin mengatakan apapun tentang adik kelas menyebalkan itu. “Please, adik kelas itu cuma caper doang sama lo,” ucapku pada diri sendiri.
“SADAR!”
DRRRRTTTTTTTT
Suara getaran ponselku, rupanya ada yang menelepon. Aku segera mengangkatnya, menekan tombol hijau dan menempelkannya persis di telingaku. Aku tidak melihat nama yang tertera di layar ponsel, langsung mengangkatnya.
“Hallo?” sapaku terlebih dulu.
“Udah di makan cokelatnya?”
“Naufal?” tanyaku sembari menepuk dahi. Ternyata yang meneleponku adalah Naufal. Pantas saja namanya tidak tertera di kontak ponselku.
“Iya, Kak.”
“Kok, lo tahu nomor gue?”
“Bukan Naufal kalau nggak bisa dapetin kontak kakak,”
“Dari mana?”
“Nggak penting aku dapet dari mana, yang terpenting itu kakak.”
Aku terdiam sejenak.
“Kok nggak ada suara?” katanya lagi.
“Lo budeg, ya?”
“Mana?” dia tanya balik.
“Sorry, kalau nggak penting jangan telepon gue!”
“Tapi aku beneran nggak denger,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Teen Fiction"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...