27. Ancaman

78 14 3
                                    

---0---

Kami bertiga baru saja keluar dari kafe. Tiba-tiba ponselku berdering, itu adalah panggilan dari Arga.

“Ya, ada apa?” kujawab dengan malas.

“Arkan, Cha, Arkaaan!” katanya dengan nada tergesa-gesa dan sedikit berbisik.

“Arkan kenapa?”

Aku panik setelah Arga menyebut nama Arkan karena takut terjadi sesuatu. Susi dan Mia pun mulai bertanya-tanya ada apa. Mereka hanya mendengarku bertelepon dengan Arga.

“Dia berantem, heboh nih!!” jawab Arga.

“Sama siapa? Kenapa?”

“Lebih baik lo kesini sendiri. Kita lagi ada di Jalan Merdeka, deket taman.”

Tanpa berpikir panjang, kami pergi ke tempat yang disebutkan Arga tadi. Ternyata Arkan tidak ada di rumah karena sedang pergi dan berkelahi dengan seseorang. Arkan! Aku tidak habis pikir kalau dia akan berkelahi seusai keluar dari rumah sakit. Aku yakin telah terjadi sesuatu yang membuat emosinya meledak.

---0---

Aku terkejut. Benar-benar terkejut. Arkan berkelahi dengan.., Naufal. “STOPPP!!!” Bahkan teriakanku seakan tidak ada apa-apanya ditelinga Arkan. Lalu, mengapa Naufal tidak membalas setiap pukulan yang dilemparkan Arkan?

Aku menarik tubuh Arkan dengan kasar. “Apa-apaan sih lo?” Dan teriakan sekencang itu tidak dia dengar. “Stop, Ar. Dia bisa mati gara-gara lo!” teriakku lagi.

Susi dan Mia juga berusaha menyingkirkan Naufal dari hadapan Arkan. Rasa nya aku ingin menangis melihat keadaan Naufal yang luka-luka karena sahabatku sendiri. Aku tidak mengerti, mengapa semua ini bisa terjadi.

“Lo kerasukan apa sih, sampe lo tega pukulin Naufal kayak gitu?!”

Arkan mulai terdiam, tubuhnya tidak bergerak lagi. Tapi, dia terus memandangi Naufal dengan tajam.

“Lo nggak seharusnya ngelakuin itu, Ar.”

“Seharusnya lo selesaikan masalah lo dengan kepala dingin.”

“Seharusnya lo lihat gue!” ucapku.

Aku berteriak sekencang mungkin. Tujuanku bukan untuk bersikap kasar dengan Arkan, tapi aku hanya ingin dia tahu kalau aku tidak suka dia melukai Naufal. Aku tidak suka dia berkelahi dengan Naufal. Aku tidak suka sifat Arkan yang selalu emosial. Aku tidak suka Arkan yang arogan, kasar, dan mudah dipengaruhi.

Sudah tidak ada waktu lagi untuk berpura-pura di hadapannya. Aku menangis sambil memegang erat kerah bajunya yang basah terkena keringat. Aku juga bisa merasakan detak jantung Arkan yang berdetak sangat kencang. Napasnya masih terputus-putus.

“Seharusnya lo tahu..” Aku menangis, “kalau gue sayang sama dia.” Aku melepas genggaman itu dari bajunya.

Aku tidak peduli jika Naufal mendengar ucapanku, tadi. Aku tidak peduli dia menganggapku seperti apa, karena itulah kebenarannya. Anak bawang yang selama ini mencoba membuatku senang telah benar-benar membuatku senang. Namun, jika Tuhan tidak menakdirkan kami untuk saling melengkapi, maka aku harus terima. Aku harus terima jika permasalahan ini akan diperpanjang hingga akhirnya dia pergi bersama perempuan itu.

Aku juga tidak tahu, apakah aku harus marah dengan Arkan atau tidak. Dia memang arogan, temperamen, tapi dia itu baik. Dia sahabat baikku. Dia melalukan itu semata-mata untuk membelaku, jika aku memang alasan dia berkelahi dengan Naufal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang