18. Cerita Naufal

300 49 7
                                    

---0---

Saat itu, Naufal menjemputku di depan Mall tepatnya di pinggir jalan. Aku duduk di halte yang kebetulan berada persis di samping pintu keluar parkiran mobil. Senyum nya tak pernah pudar membuatku terus ingin melihatnya, bahkan aku selalu merasa ada hal yang berbeda ketika bersama Naufal.

Apakah kalian tahu ini perasaan apa? Aku tidak pernah mengalaminya seumur hidup, baru kali ini dengan Naufal si adik kelas yang dulu pernah aku katakan sok kalem karena memakai kata 'aku-kamu' di UKS.

Hehe, padahal dulu aku juga sering mengucapkan kata-kata tersebut. Aneh saja dengan sikapnya sejak kali pertama aku bertemu di UKS dengan alasan sakit. Iya mungkin dia memang sakit, tetapi siapa yang tahu? Aku rasa saat itu dia hanya kelelahan namun dianggap serius oleh kakak kelasnya yang menjadi pembimbing MOS.

Pada dasarnya, Naufal adalah tipe laki-laki yang kuat dan tidak mudah sakit seperti itu. Iya aku tahu manusia pasti akan mengalami yang namanya sakit, namun aku yakin Naufal bisa menjaga kesehatannya seperti apa yang aku lihat hingga sekarang.

Saat itu, Naufal datang dengan motor kesayangan miliknya yang berjenis GPX Legend 150s. Sebenarnya, aku jarang sekali melihat motor ini apalagi di pakai oleh siswa SMA seperti Naufal. Aku juga pernah berpikir kalau motor tersebut bernilai mahal, padahal aku tidak tahu sama sekali berapa harga nya.

"Aku lama ya, jemputnya?" tanya Naufal saat kami sudah berlalu meninggalkan halte juga Mall terbesar itu.

"Banget." jawabku singkat.

"Serius aku lama jemputnya?"

Aku tersenyum, memiringkan kepalaku dan berbicara persis di telinganya. "Enggak, Naufal. Kamu nggak buat aku lama nunggu kok," jawabku.

"Oh iya, aku seneng bisa kayak gini sama kakak."

"Seneng nya?"

"Iya seneng, kan aku nggak perlu diam-diam lagi."

"Diam-diam dalam hal apa?"

"Lihat bidadari putih abu-abu, yang udah jadi alasan aku pergi ke sekolah."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan itu dari mulut Naufal. Antara senang dan bingung. Bingung akan hal yang aku rasakan setiap kali bersama Naufal, memandang wajahnya, mendengar suaranya, dan sikapnya kepadaku.

Naufal tidak membawaku pulang langsung ke rumah, tetapi dia membawaku pergi ke Monas. Aku ikut saja kemana pun dia ingin membawaku, asal dia tidak membawaku ke tempat yang bisa mengancam nyawaku.

Ke Monas pun tidak apa, yang penting dia tidak akan membuatku kecewa nantinya. Mungkin hanya sekedar jalan-jalan saja, atau mungkin bersantai sambil mengobrol-ngobrol. Naufal kan selalu bisa ku ajak mengobrol, apalagi dia itu sosok laki-laki yang kini sering membagi waktunya kepadaku.

Aku dan Naufal duduk di atas rerumputan hujau beberapa kilometer sebelum bangunan Monas. Dia juga membelikan aku es krim, katanya makan es krim sambil bersantai itu adalah sebuah suasana yang menyenangkan.

"Kenapa tadi kamu nggak ikut ke Mall sama temen-temen, padahal kan mereka selalu bareng kamu apa lagi ada aku?" tukas aku sambil sesekali menjilat es krim bertabur cokelat dengan choco chips yang membuat rasa semakin enak.

"Sebenernya aku jarang ke Mall. Nggak suka juga, soalnya kalau di Mall aku takut."

"Takut apa?"

"Takut nggak bisa buat kakak berhenti ketawa karena seneng, kan sama aku nya lebih lama." jawabnya sambil sesekali menjilat es krim sepertiku.

"Kamu belajar nge-gombal dari mana sih, kok jago banget?"

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang