06. Sandwich Cokelat

415 116 36
                                    

     Hari ini aku berangkat lebih pagi ke sekolah karena harus menyelesaikan tugasku untuk menghias mading dengan karya-karyaku juga anak-anak yang lainnya. Aku tidak sendiri, aku di bantu oleh semua anggota mading. Sekolah ini terlihat masih sangat sepi, tidak begitu banyak orang lalu lalang di sana. Aku berjalan menuju lokerku untuk menyimpan beberapa buku. Saat aku berhasil membuka loker, tiba-tiba saja di dalam loker terdapat sebuah kotak dan itu bukan milikku. Aku memang lupa mengunci loker ketika pulang sekolah kemarin karena terburu-buru.

Aku mengernyit, membolak-balikkan kotak itu dengan penasaran. “Siapa yang naruh kotak ini di loker gue?” ku bertanya pada diri sendiri.

Aku bingung, kotak ini sama sekali bukan milikku. Perlahan aku membuka kotak itu untuk memastikan apa isinya. Dan isinya hanya beberapa lembar roti sandwich cokelat juga terdapat tulisan di balik tutup kotaknya.

Selamat makan, Felicya.

Hanya tulisan singkat yang entah siapa penulisnya. “Ini orang tahu nama gue? Berarti dia kenal dong, sama gue?” Aku masih saja memikirkan siapa pengirimnya. Aku melirik kanan-kiri yang terlihat sepi, tidak ada siapapun di sana.

Hari ini masih sangat pagi. Tanpa ragu aku mengambil kotak itu dan di simpan di dalam tas ranselku. Anggap saja ini hadiah dari malaikat yang tidak rela melihat bidadarinya kelaparan karena belum sarapan.

---0---

     Aku berjalan menuju ruang kelas untuk meletakkan tas ranselku dan kembali ke luar untuk menemui teman-temanku yang sudah berada persis di hadapan mading. “Hai,” ku sapa mereka sambil tersenyum. Aku duduk bergabung dengan mereka.

     Pada umumnya, mading lebih mengasyikkan dibanding OSIS yang selalu terlihat serius. Kalian pasti pernah terjepit dalam situasi yang membuat kalian bimbang seperti aku, yang mengikuti OSIS hanya karena sebuah alasan.

     Aku lebih suka dengan dunia literasi, membuat berbagai macam karya yang akan menginspirasi banyak orang contohnya mading. Aku banyak membuat karya di mading, bukannya aku ingin menyombongkan diri. Aku hanya mengatakan apa yang aku lakukan selama ini. Aku sering menghiasi dinding mading dengan puisi, artikel, dan gambar-gambar sesuai dengan tema yang diterapkan.

     Kira-kira setengah jam kami semua menyelesaikan tugas tersebut. Satu-persatu dari anggota kami pergi ke kelasnya masing-masing, atau ada juga yang pergi ke kantin untuk sarapan. Suasana sekolah 712 pun sudah mulai ramai, banyak yang berlalu-lalang melewatiku yang masih berdiri sambil memandangi dinding mading. Aku merasa bangga dan kagum sendiri dengan karya-karya yang menempel disana.

“Awas kesambet Mba, kasihan nggak ada yang mau tolong nantinya.” sahut salah seorang yang tiba-tiba saja merangkulku. Ternyata itu adalah Arkan, siapa lagi kalau bukan dia yang selalu menggangguku.

Aku menghembuskan napas kasar, melepaskan rangkulannya. “Apaan sih lo, ganggu aja!” kataku.

Aku memandangnya dengan kesal dan melipat kedua tanganku persis di perut. “Anak basket nggak boleh deket-deket sama anak mading,” kataku lagi.

“Emang ada peraturannya gitu? Nggak ada kali, Mba.” jawabnya santai.

Wajahku aku dekatkan padanya, mataku memelotot persis di hadapan matanya. Meskipun dia tahu aku tengah bercanda dan tidak serius melakukan itu.

“Gue nggak peduli lo mau ngomong apa, terserah.” ucapku sambil melet kepadanya. Aku rasa hal seperti ini sudah terbiasa terjadi diantara kita.

“Cha, lo bawa bekal nggak?” tanya Arkan.

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang