Aku masuk ke kelas Arkan. Beruntung, laki-laki itu duduk di barisan depan. Dia sedang mengobrol dengan teman-temannya. Dia sedikit terkejut melihatku yang datang tiba-tiba. Aku hanya menunggunya di depan kelas. Dia segera menghampiriku dengan menunjukkan senyum manisnya.
“Kangen gue, ya?” Arkan memainkan rambutnya dengan sikap percaya dirinya.
Aku tidak menghiraukannya sama sekali. “Lo udah makan roti yang gue kasih?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Udah abis dari tadi, Cha.”
“Lo telat kalau mau minta,” katanya.
“Lo nggak apa-apa kan, Ar?” tanyaku.
Arkan mengernyit tak mengerti. Dia menganggukkan kepalanya. “It's ok, gue baik-baik aja.” jawabnya.
“Ada apa sih, Cha?”
Aku menghela napas, lega. Ternyata orang yang memberikan sandwich itu tidak berniat buruk. Kalau saja aku tahu siapa yang memberikannya, aku akan berterima kasih.
“Nggak ada apa-apa kok, bye!”
---0---
Aku tengah duduk di bangku taman belakang sekolah ditemani oleh laptop milikku yang sengaja aku bawa karena aku ingin menulis. Aku ingin menuliskan tentang apa yang aku alami selama di sekolah ini. Dan tiba-tiba saja aku teringat untuk menuliskan tentang si penggemar rahasia yang tadi pagi memberiku sandwich cokelat yang aku suka. Meski roti itu aku berikan kepada Arkan, tapi orang itu tetap berjasa.
Mungkin semua itu dinyatakan secara tidak langsung, tetapi aku senang karena ada seseorang yang rela melakukan itu. Waktu itu masih sangat pagi sekali bagi anak-anak yang statusnya pelajar sepertiku, kira-kira kurang dari jam enam pagi. Aku rasa semua anak pelajar pun akan menganggapnya sangat pagi, tidak seperti pada umumnya.
Aku duduk dengan tenang, memulai sesuatu yang aku sukai sedari kecil. Dulu ayah pernah bilang kalau menulis adalah sesuatu yang menyenangkan, dan disaat itulah aku mulai belajar menulis dengan ayah. Hingga saat ini, aku akan menuliskan apa yang aku rasakan.
Suasana sekolah yang lumayan cukup ramai karena lalu lalangnya para murid, itu cukup membuatku tidak merasa sendiri. Aku sengaja pergi ke taman sendirian tanpa Mia dan Susi, mereka pergi ke kantin untuk membeli makanan. Sedangkan aku hanya memakan sandwich cokelat yang tadi pagi aku dapatkan di dalam loker, isinya dua buah sandwich dan cukup mengganjal perutku di sekolah.
Ahh, orang itu baik sekali. Rasanya, kalau aku sudah memakan roti sandwich cokelat sekali, itu membuatku kecanduan. Aku ingin lagi. Aku suka makanan itu. Ibu juga lupa membeli stok makanan tersebut di rumah, aku jadi merepotkan orang lain gini. Hehe..
Sesekali aku senyum-senyum tak jelas, entah apa penyebabnya. Tapi, setangkai bunga kertas berada persis di hadapanku yang di sodorkan oleh seseorang dari belakang. Terkejut memang, saat tahu yang menyodorkan bunga itu adalah Naufal.
“Ngapain lo di sini?” ku bertanya padanya tanpa menangkap bunga tersebut.
Dia mengisyaratkan agar aku menerima bunga kertas yang berhasil dia petik. Kemudian, dia duduk di sampingku dengan senyumannya. “Masih inget bunga kertas ini, kan?” katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Teen Fiction"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...