---0---
Suasana sekolah kini terlihat lebih sepi dari sebelumnya. Pagi ini aku pergi ke kelas Naufal untuk memberikan dukungan dan semangat untuknya. Aku juga tidak lupa membawa sandwich cokelat yang sering aku bawa, dan Naufal suka. Namun, apa yang aku lihat sekarang tidak semanis ekpektasi.
Sesampainya di sana aku tidak menemukan apa-apa, satu orang pun tidak ada. Ke mana semua orang di kelas ini? Aku tersentak saat ada seseorang yang meniup telingaku sembari memanggil namaku. Aku pikir dia adalah Naufal, ternyata dia bukan Naufal.
"Argaaa!" teriakku sambil memandangi Arga kesal.
"Ngapain lo di kelas sepuluh?" tanya Arga.
Aku menghela napas kasar, menyandarkan tubuhku di tembok. "Iiih, gue lagi nyariin orang tahu!" Tak pernah bosan aku memandang sekitar, berharap Naufal melewati koridor, atau ada salah satu teman-teman dekatnya.
"Si Naufal?"
"Iya, terus siapa lagi kalau bukan Naufal?!"
"Biasa aja dong," katanya sembari mencubit lenganku.
"Oh iya Cha, gue ke sini mau ngasih tahu info penting buat lo. Penting, Cha!"
Awalnya aku tidak memperhatikan Arga, biarkan saja, Arga memang suka berlebihan terhadap sesuatu.
"Cha, ini penting banget. Lo nggak mau dengerin gue ngomong?"
Daripada aku harus mendengarkan Arga berbicara yang tidak penting, lebih baik aku kembali saja ke kelasku. Kalau Naufal benar-benar sudah berangkat ke tempat lomba, aku yakin dia tetap menungguku di sana. Aku akan menyusulnya.
"Gue mau nyusul Naufal ke sana, nanti lo anterin surat izin ke kelas gue, ya?" ucapku sembari berjalan cepat, buru-buru.
"Cha, lo harus dengerin gue?!"
"Lo yakin mau nyusul si Naufal?"
"Lo nggak berperikemanusiaan banget si, Cha!"
"Arkan, kan.."
Setelah aku mendengar dia mengucap nama Arkan, langkahku berhenti kemudian ku pandangi dia dengan serius.
"Arkan kenapa?" tanyaku padanya.
Dia menghela napas, terdiam sejenak.
"Gue tanya sama lo, Arkan kenapa?!" tegasku dengan nada tinggi.
"Arkan kecelakaan, Cha. Sekarang dia ada di UGD, Rumah Sakit Mitra Bahagia." jawabnya.
Aku langsung pergi dari hadapan Arga saat itu. Entah, aku tidak memperdulikan tepak makanku yang tidak sengaja aku jatuhkan di tempat tersebut. Arga juga sepertinya tidak fokus kepada hal itu, justru dia langsung pergi menyusulku.
"Cha, gue ikut!!!" teriaknya.
"Jangan tinggalin gue dong, woy?!"
Sebelum aku ke rumah sakit, aku pergi untuk menemui wali kelasku agar mendapat surat izin. Aku benar-benar takut terjadi apa-apa dengan Arkan, aku khawatir. Disepanjang jalan aku terus memikirkan Arkan yang tidak bisa aku bayangkan jika dia benar-benar terbaring lemah di rumah sakit.
Sesekali terbesit dipikiranku tentang Naufal, yang aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa setelah aku mengingat ucapanku beberapa hari yang lalu. Tentang perjanjian itu. Tentang menemuinya di tempat perlombaan. Tentang betapa inginnya aku menjadi orang pertama yang menyaksikan kesuksesannya. Dua hal yang membuat aku semakin diguncang rasa bimbang, antara Arkan dan Naufal, semua begitu berarti dalam hidupku.
Semua pikiran itu hilang ketika aku mendapati Arkan yang sedang berbaring di atas brankar dengan kaki dan pelipis yang di balut kain kasa. Jujur, aku tidak bisa membohongi diri untuk tidak memperdulikan dia. Arkan memang tidak sekuat yang orang lain lihat. Dia selalu menutupi kekurangannya dengan kelebihan yang ia punya. Siapa tahu, siswa yang sangat berprestasi dalam bidang olahraga ini justru diam-diam menyembunyikan kelemahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Teen Fiction"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...