---0---
Aku melangkah ke luar rumah, menemukan Naufal yang tengah berdiri di depan teras sambil sesekali memperhatikan langit dan sekitar halaman.
"Nih, oleh-oleh buat kamu dari Ayah." Aku menyodorkan dus bag polos berwarna cokelat muda kepada Naufal yang tengah berdiri di luar rumahku.
"Katanya makasih, karena udah mau repot-repot ikut jemput di bandara dan..." Aku berdeham sebelum melanjutkan. "Dan udah buat putrinya seneng." lanjutku sambil tersenyum.
Senyumnya merekah ketika menatapku, juga mendengarkan setiap perkataanku tadi. Kami sudah selesai makan bersama walaupun di meja makan terasa canggung, tetapi Naufal sudah membuktikan padaku kalau dia memang orang yang baik dan harus aku pertahankan.
"Tugas aku kan, emang buat kakak seneng." Dia mulai menerima dus bag yang aku berikan atau lebih tepatnya dari ayah sebagai ucapan terima kasih ke Naufal.
Aku hanya tersenyum.
Saat itu, kami duduk berdua di teras rumah dengan memandang langit yang sudah berubah menjadi gelap, namun ada cahaya yang menerangi titik-titik gelap tersebut. Sebenarnya sebelum makan bersama, kami lebih berlama-lama mengobrol hingga melupakan waktu yang terus berjalan.
"Kakak udah lama ya, dekat sama Arkan?" tanya Naufal dengan tiba-tiba.
Mengapa Naufal bertanya tentang Arkan kepadaku, bukankah pernyataan tentang sahabat itu sudah dia dengar?
"Iya, tapi cuma sahabatan aja, udah kayak saudara sendiri."
Aku dan Naufal duduk di teras rumah yang rasa nya lantai itu sudah tercampur akan udara dingin, begitu sejuk dan nyaman sekali.
Naufal mengangguk, tersenyum kepadaku. "Selama ini aku nggak pernah lihat seorang cewek sahabatan sama cowok tapi salah satu diantara mereka nggak merahasiakan sesuatu,"
Aku menatapnya, mencerna apa yang dia katakan. "Maksudnya merahasiakan sesuatu itu apa?"
"Kakak pasti ngerti apa yang aku omongin,"
Aku termenung memikirkan apa yang Naufal maksud. Apakah dia mengira kalau aku atau Arkan memendam sebuah perasaan? Rasa nya tidak mungkin, apa lagi Arkan sudah seperti saudara kandungku sendiri walaupun pada kenyataannya dia tidak memiliki ikatan darah apapun dari keluargaku.
"Aku nggak ada apa-apa sama Arkan, Naufal. Masa kamu nggak percaya sama aku sih,"
"Aku percaya Kak, kok panik?"
"Iya aku takut kamu berpikiran yang macam-macam," ucapku dengan pelan.
Sesekali aku memandang wajahnya, memperhatikan setiap detik bagaimana cara Naufal bersikap kepadaku. Dan bagaimana perasaanku ketika dekat dengan Naufal, mendengarkan secara jelas suara dan ekspresi wajahnya. Apa yang terjadi denganku?
"Aku nggak mau kamu salah faham sama Arkan."
Suaraku terdengar seperti meyakinkan Naufal tetapi dengan nada rendah dan volume yang hanya bisa dia dengar, jangan sampai ada orang lain yang mendengar. Aku hanya tidak mau Naufal jauh denganku gara-gara kedekatanku dengan Arkan. Ya ampun! Aku sudah berpikiran sejauh itu.
"Bahkan kalau kakak ada apa-apa sama Arkan pun, aku nggak tahu harus ngapain." katanya.
Aku hanya terdiam. Ada sesuatu yang hancur dalam diriku ketika mendengar itu dari mulut Naufal, tapi aku tidak tahu itu apa.
"Aku nggak mau kehilangan kakak, karena kakak adalah orang yang udah buat aku ngerti apa artinya bersyukur." Dia selalu menunjukkan senyuman manisnya di depanku, bahkan ketika aku bingung seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naufal
Teen Fiction"Tugasku adalah buat kamu seneng," kata Naufal. Aku hanya senyum-senyum sendiri saat itu, membebaskannya berbicara tanpa ragu. Tapi itulah yang selalu dilakukan Naufal agar tidak terlalu kaku saat bersamaku. Bagiku, dia itu orang pertama yang...