22. Angin Malam

261 31 11
                                    

"Salah satu bahagia terbesarku adalah mempunyai kalian."

____________________________________

Malam ini, di rumahku sudah lengkap dengan berbagai macam makanan kering yang sengaja aku siapkan untuk menyambut malam-malam bersama ibu dan ayahku.

Makanan kering yang aku bawa banyak jenisnya seperti kue-kue manis dan ada beberapa yang gurih, karena selera keluargaku adalah si pecinta makanan yang manis-manis.

Walaupun begitu ibu selalu mempertimbangkan semuanya, mencintai makanan manis tidak boleh berlebihan. Kalau berlebihan akan berdampak buruk bagi kesehatan, kalian juga pasti sudah tahu itu kan? Ibuku memang juara.

Kami duduk bertiga di ruang keluarga yang dilengkapi dengan televisi sebagai hiburan. Makanan sudah tertata rapi di atas meja, saatnya menikmati waktu yang sedang berpihak kepada kami.

Aku dan ayah tengah membahas soal kuliahku nanti, padahal waktunya masih lumayan lama karena aku masih duduk di kelas 11 SMA. Ayah ingin aku kuliah di Singapura agar bisa hidup bersamanya menjalani bisnis yang tengah di rintis di Negeri Gajah Putih tersebut. Kalau ibuku, dia setuju-setuju saja karena tugas seorang isteri kan memang patuh terhadap perintah suaminya.

"Nggak, Ayah. Felicya tuh udah suka di sini, udah seneng tinggal di Indonesia. Kalau nanti pergi ke Singapura, pasti nyesal banget karena suasana di sana nggak kayak di sini." ucapku, yang menolak ajakan ayah untuk ikut ke Singapura bersama-sama.

Aku memakan sedikit demi sedikit kue kering yang mempunyai tekstur lembut dan manis itu. Sesekali aku memandang televisi yang tengah memperlihatkan sebuah sinetron keluarga di salah satu stasiun televisi terbesar di Indonesia. Ayah juga seperti itu, apalagi ibu yang sangat menyukai drama-drama Indonesia yang bertema keluarga.

"Loh, justru suasana yang beda itu kan menyenangkan buat kamu, apalagi bisa tinggal di Luar Negeri. Di sana itu ada salah satu Universitas terbaik lho, bagus banget buat kamu ke depannya." jelas ayah, yang sama-sama menikmati makanan demi sedikit ke mulutnya.

"Iya, sayang. Orang-orang Indonesia saja banyak yang ingin ke Luar Negeri untuk kuliah sampai berlomba-lomba mencari beasiswa. Seharusnya, kamu itu senang karena kita masih bisa ke sana tanpa harus membuang-buang tenaga untuk cari beasiswa. Kalau pun nanti kamu dapat beasiswa di sana, bangga juga kan, tambah senang Ayah sama Ibu." ucap ibuku.

"Tapi kan masih lama Bu, masih satu tahun lagi lulus nya. Aku tuh nggak mau merencanakan sesuatu dari jauh-jauh hari kalau aku sendiri nggak percaya bisa atau nggak nya, Bu."

"Putri Ayah mah pasti bisa melakukan itu semua. Semuaaa ... Lawan belajar kamu, pasti kamu bisa. Anak Ayah kan, pintar, cantik, pantang menyerah!" ucap ayah sembari mengangkat dan menggenggam tanggannya ke atas, seperti menunjukkan kekuatan; kata semangat.

Aku tersenyum semringah memandang ayah, sosok laki-laki yang selama ini berjasa untuk keluarga. "Iiih, Ayah bisa aja deh," Ku cubit pelan lengan ayah yang diiringi tawa, membuat aku seakan ingin bercanda.

"Kalau kenyataannya ada yang lebih pintar dari Icha, gimana?" ku tanya ayah.

Ayah terdiam sejenak, mungkin tengah berpikir tentang jawabannya. "Kalau orangnya perempuan berarti dia sahabat kamu. Kalau laki-laki pasti jodoh kamu," jawab ayah sembari mencolek hidungku yang katanya mancung seperti mereka.

"Hehehe," Kalau saja ucapan ayah menjadi kenyataan, aku pasti sudah berpikir kalau yang lebih pintar dariku adalah Naufal Maulabi.

Dia yang mampu menyihir semua orang dengan kharisma nya, yang mampu membuatku nyaman se-nyaman ada di dekat orang-orang tersayang.

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang