~ 22 ~

667 18 2
                                    

Buronan.

Lalu.. "Papa..?" Kayana juga jadi saksi kejadian mengerikan ini. Fathan menoleh, ekspresinya semakin ketakutan. Ia tersadar apa yang sudah terjadi sama Papanya.

"Pa..pa?!" Satu kata, dan selanjutnya ia tak lagi mampu berucap kalimat. Fathan menoleh panik saat suara Kayana terdengar. Ia menatap ketakutan kakak iparnya itu didepan pintu.

Kayana berlari turun melihat keadaan ayah mertuanya yang tergeletak di lantai. Ada darah yang mengalir dilantai dekat kepala Rama. Kayana menempelkan jari telunjuknya. Tak ada tanda nafas yang berhembus yang telunjuknya ia rasakan. Ia semakin panik, kepala ia letakan di dada. Mendengarkan detak jantung Rama. Telinga Kayana tak bisa mendengar degub jantung mertuanya.

Kayana melekatnya kedua tangan di dada Rama, ia sadar, yang ia lakukan tidak merubah keadaan yang sudah terjadi saat ini. Darah yang keluar dari kepalanya terlalu banyak. Mungkin yang Kayana lakukan adalah sebuah kesalahan bagi orang yang terluka terjatuh dari tangga.

Tangannya terus memompa, berharap ayah mertuanya bisa hidup kembali. Berharap ada hembusan nafas yang bergerak dari paru-paru yang ia tekan melalui dadanya. Ada deru nafas yang mendadak menjadi kencang, ada rasa sesak yang tiba-tiba menyelinap hadir dari ruang kosong dalam dadanya. Jantungnya berdetak tak menentu. Ketakutan demi ketakutan mulai menghantui dirinya yang sedang menyaksikan Papa mertuanya akan berakhir masa hidupnya, mungkin memang sudah tak ada harapan.

Fathan berjalan pelan, dadanya tak berhenti berdegup kencang. Ada takut yang mendalam. Dugaan demi dugaan buruk mulai menyelimuti rasa takutnya.

"Pah.. ayo dong pah, Kayana mohon bernafas pah. Pah.. Kayana mohon, jadi ayah mertua buat aku yang lama..!" Katanya tak henti-hentinya memompa dada mertuanya. Fathan berdiri diam tanpa berkedip, wajah bersalahnya sudah menghias dari atas tangga.

Kakak iparnya menoleh, lalu berdiri. Memandang marah padanya. Semua sudah berubah pada diri Fathan. Yang berdiri dihadapannya bukan laki-laki sama yang dulu ia kenal. Ia berbeda, berbeda dari yang dulu.

"Gimana keadaan papah?" Tanya Fathan bersuara serak. Berhenti dianak tangga terakhir.

Kayana menggeleng.."Dia..dia.. meninggal..?!" Suara Kayana nyaris tak terdengar. Tapi membuat jantung Fathan seakan berhenti berdetak.

"A..a..pa?" Kata Fathan.

"Iya.. elu udah ngebunuh bokap lu sendiri, Than."

Fathan berlari.. "sssttt.. diam.. jangan banyak bicara." Hentinya meletakan jari telunjuk di tengah bibir. "Lebih baik kita bawa papah ke rumah sakit."

"Dan kalian.. " katanya lagi beralih ke Sumiati dan Parjo yang hendak menolong Rama. "Jangan pernah ada yang ngomong masalah kejadian ini, kalo sampe kalian bicara sama orang.. saya gak akan segan-segan menghabisi nyawa kalian." Ancamnya bikin kedua pembantunya ketakutan.

"Sekarang elu.." tunjuknya pada Kayana. "Elu.." telunjuknya mengacung pada Sumiati. "Juga elu Parjo, cepet bantu tuan kalian. Bersihin darah. Biar gue yang panggil ambulan." Perintahnya rada cemas.

"Gak ada yang bergerak." Bentak Kayana. "Dan elu Than, elu harus tanggung jawab atas kejadian ini."

"Gila lu, otak lu dimana? Gue gak akan pernah mau masuk ke penjara. Dan gak ada yang dipenjara." Bantah Fathan tegas. "Kalian, CEPET KERJAIN..!!" Bentaknya pada Parjo dan Sumiati. Bergegas mengerjakan perintah anak majikannya itu.

"Halo Rumah Sakit..!!" Ucap Fathan ditelepon. Ia terus berbicara pada pihak rumah sakit. Di belakang, Kayana menatap datar tubuh Fathan yang sedang asik berbicara ditelepon.

Ia ingat, dulu sikap Fathan tidak pernah seperti ini. Ia bertanggung jawab. Dia juga yang sayang sama dirinya semasa ia awal mulai akrab.

Tapi sekarang.., "apa ini semua gara-gara gue elu berubah, Than? Sampe-sampe lu gak peduli dengan keadaan kakak dan bokap lu sendiri?"

SERPIHAN CINTA YANG HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang