~ 46 ~

538 17 0
                                    

HARI OPERASI.

Pukul enam, masih ada tiga jam lebih untuk Fathan bersiap-siap ke rumah sakit. Namun, hari dimana ia harus merelakan ginjalnya, ada perasaan takut yang tiba-tiba menghantui. Seakan ia tidak bisa untuk melakukannya.

Saat ini, Fathan tak bisa diam. Kakinya tidak mau berhenti bergerak kesana-kemari. Debaran jantungnya tak mau tenang, sangat kencang. Menghela nafas, lalu meraih amplop putih. Jaket di kursi pun di sambarnya. Fathan keluar.

Lalu Dania, ia dari semalem tak bisa tidur. Beberapa kali keluar dan melihat Fathan yang belum juga pulang. Bahkan, ia menghampiri dan memanggil nama Fathan, laki-laki itu tak kunjung menjawab. Dania hampir putus asa. Entah sejak kapan ia begitu mengkhawatirkan Fathan, sangat kuatir tentang operasi laki-laki bekas pacaranya itu nantinya.

Ia berdoa, selalu berdoa disetiap sholatnya. Berharap Fathan berubah pikiran. Rasa penasarannya juga selalu menghantui sejak semalem. Dan lalu, Dania keluar kamar. Hendak menghalangi Fathan.

Disana, laki-laki yang hampir jadi suaminya itu ada dihadapannya. Jaraknya tidak begitu berjauhan hanya satu meter dari dirinya. "Fathan." Panggil Dania dibalas dengan senyuman Fathan. Keduanya melangkah saling mendekati.

Mereka diam sesaat, saling memandang dengan perasaan tak menentu. Pikiran yang berbeda. Hati yang berkata berbeda.

"Hai..!" Sapa Fathan. Lalu ia mengeluarkan amplop putih. Dania menatap heran. "Apa ini?" Dania ragu untuk mengambil dari tangan Fathan.

"Ini surat pengunduran diri gue." Ucap Fathan bikin Dania tak bisa berkata-kata. Tubuhnya mendadak gemetaran. Jantungnya berdetak tak karuan. Pikiran Dania salah, harapannya tak sesuai dengan kenyataan saat ini. Fathan tetap pada pendiriannya.

"Kenapa?" Cuma itu yang bisa Dania ucapkan. Dania tetap membiarkan Fathan memegangnya. Ia tak ingin menerima kenyataan tentang hari selanjutnya setelah operasi hari ini.

"Mungkin gue akan pergi selamanya." Jawab Fathan membuat hati Dania bertambah kacau. Baru kali ini dia akan merasakan kehilangan Fathan. Kehilangan terbesar dalam hidupnya. Bagaimanapun, Fathan pernah ada dihatinya, pernah jadi kekasihnya. Pernah jadi atasannya, bahkan ia Pernah hampir jadi suaminya.

"Haruskah, Than?" Tanya Dania ber-ambigu dalam kata.

"Semua bisa aja terjadi, dan gue hanya antisipasi untuk kemungkinan terjadi." Lagi, kalimat Fathan bikin Dania membisu. Kali ini dia mengambil surat dalam amplop putih dari tangan Fathan.

"Gue mau minta tolong sama elu."

"Apa?"

"Bila gue gak ada umur, atau Tuhan gak mengijinkan gue untuk hidup, Mau kan elu menjaga rahasia ini dari Kayana?"

"Apa harus lu sembunyiin ini juga dari dia?"

Fathan cuma tersenyum. "Biar waktu yang menjawab tentang rahasia ini." Ia meraih tangan Dania dan meletakan ditelapak tangannya. "Berjanjilah sama gue untuk kali ini, jangan pernah bilang kalau gue yang mendonorkan ginjal buat Farsyad."

Dania menundukkan kepala, lalu menyeka butiran bening yang tiba-tiba saja menetes. Kemudian mengangguk.

"Makasih." Ucap Fathan. Dania mendongak. Bekas airmata itu masih membekas di pipinya.

Pelukan itu menyesakan dadanya, menyempitkan saluran pernafasannya. "Jaga diri lu baik-baik, Dan.. gue cuma bisa bilang makasih untuk semuanya. Makasih udah jadi sahabat gue, makasih udah pernah jadi kekasih yang hebat. Makasih juga udah sabar hadapin gue yang bodoh ini." Ucap Fathan lagi.

Airmata Dania kembali menetes hingga pelukan Fathan terlepas. Laki-laki yang hampir jadi suaminya menyadari dia menangis. Fathan menyekanya.. "hei.. gue gak pantas untuk ditangisi. Air mata ini lebih pantas untuk laki-laki yang mampu ngebahagiain elu."

SERPIHAN CINTA YANG HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang