~ 24 ~

628 16 0
                                    

Hamil.

Fathan menggerakan kakinya kedepan, mendekati Tania. Ia tekuk lututnya dan membiarkan tubuhnya sejajar dengan Tania yang duduk dibangku ruang tunggu. "Mah.., Mamah boleh marah sama Fathan, tapi, please.. jangan benci Fathan. Jangan buang Fathan kayak dulu lagi. Fathan cuma pengen dianggap ada sama kalian, dianggap anak saat kita kumpul, bercanda atau pun sedang pergi jalan-jalan." Katanya menatap iba Mamahnya.

Tania menghempas tangan Fathan yang hendak menyentuhnya. "Mamah, gak bisa memaafkan kamu." Ucapnya lirih. "Sayangnya, kita udah bukan siapa-siapa lagi." Melengos dan lalu pergi. Sumiati dan parjo mengikuti majikannya dari belakang.

Fathan menatap kosong punggung mamahnya yang tidak lagi menoleh ke arahnya.

Kamudian menghilang terhalang pintu yang tertutup otomatis. Fathan menghempaskan nafasnya. Diseka air yang menetes di pipinya.

Dua polisi menggandeng Fathan untuk masuk kembali. Ia terduduk lemas di lantai penjara. Diam, mencerna kalimat mamahnya barusan.

Tania, duduk di sebelah kanan mobil. Duduk menopang dagu, melihat keluar jendela. Kadang, airmata tak bisa berbohong seperti apa perasaannya saat ini. Marah, itu sudah pasti ia rasakan. Bahkan ia sangat marah tadi saat melihat wajah puteranya. Kesal, itu pun tak jauh beda. Tamparannya tidak membuat dia puas melampiaskannya. Tapi ia tak bisa marah pada puteranya sendiri, bagaimana pun Fathan anak yang lahir dari rahimnya.

Dan..

Tes.. air itu menetes kembali. Ingat dirinya yang amat bersalah pada Fathan. Ia merasa, ia lebih pantas mati dibanding suaminya. Tangan itu sibuk menyeka air yang seolah tak bisa berhenti.

****

Jam demi jam, hari demi hari bulan pun berganti. Sudah dua bulan Fathir tak sadarkan diri. Saat ini, keadaannya sudah ada kemajuan. Ia mulai menggerakan jarinya. Respon syarafnya juga sudah ada kemajuan saat sentuhan Tania menyentuh kulit tangannya.

"Fathir..?!" Tania tersentak saat Fathir merespon sentuhan tangannya. Ia berlari keluar dan berteriak memanggil dokter.

Kembaran Fathan itu mulai mengerjap matanya saat dokter memeriksa keadaan Fathir. Wajah senyum Tania terlukis.

"Mah, aku kenapa?" Tanya Fathir lemah. Tania mendekati anaknya kesisi lain, dipegangi tangan anaknya.

"Kamu gak apa-apa sayang, kondisi mu aja lagi drop." Jelas Tania.

Dan dirumah..

Kayana tertidur pulas. Semenjak Fathan ditangkap, ia merasakan perubahan fisik yang signifikan. Keinginan tidurnya seakan tak lagi bisa di tahan. Perut yang mual, tak nafsu makan.

Kemudian..

Hoek..

Hoek..

Hampir setiap hari ia mengalami hal itu semua. "Perut gue kenapa ya?" Pikirnya. Berkutat pada hari dimana dia terakhir menstruasi.

Degh..!

"Jangan-jangan gue hamil..?" Pikirnya lagi sambil mengelus-elus perutnya. Kayana bergegas berdiri di raih kalender di atas meja. "Apa..?! Gue.. gue..?!" Kata batinnya terputus ia langsung terduduk lemas di kasur.

"Hamil anaknya Fathan..??" Gumamnya melihat perutnya dan lalu balik melihat kalender. "gue telat dua minggu."

Lalu..

Fathan baru saja selesai sidang pertamanya sebagai terdakwa. Hakim ketua memutuskan ia dijatuhkan hukuman penjara selama 5 tahun dan denda sebesar 500 juta.

SERPIHAN CINTA YANG HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang