"Apakah harus sesulit ini untuk melepasmu?" –Myoui Mina
"Mengapa engkau hadirkan cinta kalau pada akhirnya menyisakan luka Tuhan?" –Park Jimin
Fokus : Eunwoo, Minah, Jimin
Minah terduduk lemas di taman dekat apartemennya. Melamun sambil menggalau. Perasaannya ikut sakit melihat Solbin seperti ini. Mengapa penderitaan Solbin tak segera berakhir. Seharusnya sekarang Solbin bahagia karena akan menjadi istri Jungkook. Ia malah harus terluka lebih dalam.
Eunwoo duduk di samping Minah, menemaninya. Ia melihat wanita itu menangis dan memeluk Minah yang memikirkan Solbin. Hatinya sakit melihat Minah sedih. Minah membalas pelukan itu dan semakin terisak. Eunwoo menepuk halus punggung Minah yang bergetar hebat. Mina melihat Minah dan Eunwoo berpelukan. Ia baru saja pulang dari rumah mertuanya. Sendiri saja karena Mingyu masih bekerja. Hati Mina sakit namun ia tak bisa apapun. Mereka memang sudah tak memiliki hubungan apapun. Mina memilih masuk ke dalam gedung apartemen.
"Apakah harus sesulit ini untuk melepasmu?" Lirih Mina.
Untuk kesekian kalinya Bambam datang lagi ke kafe Jimin. Ingin rasanya Jimin menjual kafe ini saja agar Bambam tak sering kemari. Agar Bambam tak bisa menemukannya lagi.
"Jelaskan sekarang dan pergilah setelahny." Katanya bergetar, ia mulai muak.
"Baiklah."
"Aku menikahi Lisa karena dia sakit. Dia bahkan drop saat aku datang ke Thailand untuk tes wajib militer. Aku tak harus wajib militer namun sebagai gantinya aku harus menikah dengan Lisa. Apa yang akan kamu lakukan jika kamu ada di posisiku Jimin? Orang tuanya memintaku untuk menikahi Lisa karena mungkin ia sebentar lagi akan meninggal. Mama bahkan tak tega. Kami juga dilema. Bagaimana caranya menjelaskan semuanya padamu? Apa kami tega menyakitimu dengan berita ini? Kami galau. Akhirnya kami sepakat untuk menghilang hingga beberapa tahun. Ternyata semangat hidup Lisa meningkat semenjak menikah denganku. Dia bahkan melahirkan anakku yang kemungkinannya sangat kecil karena penyakit itu." Jelas Bambam panjang lebar.
Air mata Jimin saat itu sudah jatuh. Ia sakit. Sangat sakit, namun ia juga tak bisa menyalahkan Lisa. Mereka semua berpikir wanita itu tak akan bertahan lama. Nyatanya Tuhan ingin ia tinggal lebih lama. Bambam terluka harus melihat Jimin menangis. Bagaimanapun ia masih begitu mencintai Jimin. Hatinya masih untuk Jimin walaupun sudah ada gadis kecilnya.
"Kamu boleh membenciku Jimin. Tapi tolong jangan benci yang lain. Mereka juga dalam keadaan kacau. Aku memang jahat untukmu."
Jimin pikir mereka semua sungguh egois. Mengapa hanya dia yang terluka? Mengapa mereka menghilang begitu saja? Apa susahnya untuk menjelaskan. Ia juga tak akan memaksa jika memang Bambam bukan jodohnya. Merelakan mungkin sulit namun tidak akan sesulit sekarang. Mereka bahkan belum putus namun kenyataan malah sangat menyakitkan.
"Jimin-ah, hari ini aku ingin kamu memutuskanku dan melupakanku. Kita memang harus membuka lembaran baru. Kamu pantas untuk bahagia walau tanpa aku. Aku akan selalu mengingat setiap hari bahagia kita." Lanjut Bambam.
"Kalau kita memang jodoh kita pasti bersatu Jimin-ah. Terima kasih untuk semuanya." Bambam pamit.
Kepergian Bambam hari itu benar-benar menyisakan pedih di hatinya. Ia hanya dapat menangis kencang mendengar permintaan Bambam. Ia harus merelakan dan melupakan Bambam. Penantian selama tiga tahunnya benar-benar sia-sia.
"Mengapa engkau hadirkan cinta kalau pada akhirnya menyisakan luka Tuhan?" Jimin menangis kencang sambil meracau tak jelas, ia sudah terduduk lemas di lantai.
Bambam dapat mendengar tangisan Jimin. Ia tak ingin berbalik. Jika ia berbalik maka semakin ia tak bisa melepaskan Jimin. Ia tak bisa egois lagi. Jimin berhak bahagia tanpanya. Air mata Bambam juga mengalir deras. Ini adalah akhir dari hubungan mereka. Hubungan yang awalnya baik-baik saja ternyata harus berakhir dengan tragis. Mereka harus berpisah.
YOU ARE READING
Benang Merah (97 Line Story) | ✔
FanfictionCinta tak pernah bisa dimengerti oleh mereka. Sekalipun mereka merasakan cinta namun mereka tetap tak mengerti. Cinta dapat membahagiakan namun juga dapat menyakitkan. Bukankah seharusnya cinta itu selalu penuh dengan kebahagiaan? Namun mengapa dapa...